Mohon tunggu...
Yo F -
Yo F - Mohon Tunggu... Dokter -

just an ordinary student who love travelling as backpacker

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Membeli Obat, Tapi Label Kemasan Terbuka, kok Mau?

21 September 2015   01:47 Diperbarui: 21 September 2015   01:53 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika membeli tas merk terkenal, sebut saja Hermes atau Louis Vuitton, pasti ada logo “H” atau “LV” yang menempel di tas tersebut. Logo itu menjadi kebanggaan bagi pemakainya. Atau bisa dibilang, harga jutaan yang dikeluarkan oleh pembeli mungkin sebenarnya hanya untuk bayar merk-nya saja. Lantas, bagaimana bila setelah bayar di kasir, logo itu dibuang alias tidak ada? Apakah kita tetap terima? Yang ada malah marah, meski tahu bahwa tas itu tetap tas “H” atau “LV”.

Akan tetapi, lain hal ketika kita sebagai pasien membeli obat di apotik dan label kemasan obat itu dikupas. Hampir semua pasien tidak marah. Alasannya sederhana, sudah percaya dengan resep dokternya. Pasien “cukup” puas dengan botol obat yang kemasan aslinya dikupas, lalu digantikan dengan label kertas putih yang bertuliskan frekuensi dan dosis minum obat, dan (bila ada) dituliskan “obat demam”, “obat muntah”, “obat batuk”...dst... Ntah apa maksud dokter atau apoteker tersebut membuang label kemasan obat. Mungkinkah agar dirahasiakan?

Fenomena lebih “parah” lagi bila berobat ke dokter kulit (maaf). Sudah bukan rahasia lagi, dokter kulit senang membuat racikan “spesial”. Berbagai obat krim atau salep dicampur jadi satu dalam botol plastik bening. Kemudian, botol plastik itu dilabeli kertas putih, diberi instruksi berapa kali pemakaian, dan cara pengolesan. Pasien pun seolah tidak mau tahu apa isi obat itu. Percaya saja, yang penting mujarab.

Padahal, adalah hak konsumen untuk tahu nama dan kandungan obat itu. Bagaimana bila ternyata obat itu menimbulkan efek samping atau alergi. Kalau tidak ada label obat, dari mana kita tahu obat A atau B sebagai “biang keladi”; lebih runyam lagi bila obat itu racikan. Masalah pun muncul ketika kita sebagai konsumen pergi berobat ke dokter lain untuk minta pendapat kedua/second opinion (lagi-lagi, adalah hak konsumen untuk mencari pendapat lain). Ketika dokter kedua bertanya obat apa yang sedang/sudah dikonsumsi, kita menjawab tidak tahu...dan menunjukkan botol obat tak berkemasan itu...dan dapat dipastikan dokter kedua itu pun tidak akan tahu isi obat itu. Padahal, mengetahui riwayat obat yang sudah dikonsumsi sangat penting.

Prilaku di atas memang terkesan sepele. Apalagi bagi yang selama ini berobat dan aman-aman saja. Namun, adalah hak kita untuk meminta keterangan obat apa yang diberikan oleh dokter. Dan hak kita juga untuk meminta label kemasan  obat untuk tidak dikupas. Zaman sekarang adalah zaman keterbukaan; masihkah mau membeli kucing dalam karung? #PatientSafetyFirst.

#just my two cents

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun