Foto tidak kehilangan bingkainya.
Begitupun umur. Tidak kehilangan angkanya.
Doa ini kutulis sebagai pengingat waktu Ibumu merajut puisi. Berbulan-bulan lamanya. Saya yakin Ibumu masih mengaminkanmu sampai saat ini.
Jika engkau hendak mengenangnya kembali, berterima kasihlah kepada Entah dan kepada cinta mereka yang senantias bernyawa di setiap sisi hatimu.
Kedua puluh tiga perangko surat itu menyapa di kotak pos berandamu. Dia Mengirimkannya padamu, bukan?
Terimalah dengan hembusan syukur dan bahagia. Kiranya berisikan hal-hal yang tidak asing bagi jantungmu: Ayah-Ibu dan orang yang kau cintai sekaligus kau benci.
Pada halaman ke dua puluh tiga majalah yang kubaca, sebuah salam membekas di kain yang pernah kau pakai untuk basuh dosamu yang hinggap pada muka-Nya.
Ia bergambar dan terasa hingga ke dalam relung puisiku ini. Melahirkan darah yang berdarah kebahagiaan.
Sebagai opsi tambahan, tiuplah dosa-dosa itu dalam doamu. Tidak pada lilin ulang tahunmu. Lilin itu adalah ungkapan kebahagiaanmu yang cuma kau andai.
Dan bingkai tadi sudah menjadi foto.
Umur tetap menjadi jiwa yang berangka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H