Pemilu Parlemen Eropa 2024 telah berlangsung pada 6-9 Juni 2024. Sekitar 400 juta orang yang tinggal di Uni Eropa telah menyuarakan pilihan mereka dalam memilih 720 anggota parlemen yang akan merepresentasikan rakyat-rakyat Uni Eropa di Parlemen Eropa. Selain itu, pemilu ini juga akan mengawali negosiasi pemilihan presiden baru Komisi Eropa, sebuah badan yang bertugas mengusulkan kebijakan dan perundang-undangan Uni Eropa.
Di dalam pemilihan tersebut, partai-partai berideologi kanan jauh memperoleh hasil yang impresif. Meskipun secara angka masing-masing dari mereka masih berada di bawah partai-partai sosial-demokrat, hasil perolehan suara tersebut masih tergolong signifikan. Bentangan partai sayap kanan jauh sendiri mencakup partai-partai dengan ideologi konservatif, nasionalis, populis (kanan), euroskeptis, dan cenderung memiliki sikap garis keras terhadap imigrasi dan globalisasi.
Partai-partai kanan jauh memperoleh peringkat pertama dengan suara terbanyak di lima negara, dan peringkat kedua atau ketiga di lima negara lainnya. Hal ini kerap dibarengi berkurangnya kursi partai-partai yang berhaluan kiri, hijau dan liberal. Partai-partai kanan jauh yang tidak terafiliasi dengan kelompok politik kanan jauh seperti partai Alternatif untuk Jerman dengan 15 kursi dan partai Fidesz dengan 10 kursi akan mengakumulasikan 156 kursi jika digabungkan dengan kelompok-kelompok politik kanan jauh yaitu kelompok Konservatif dan Reformis Eropa, dan kelompok Identitas dan Demokrasi. Efek dari pergeseran ini dapat dirasakan oleh beberapa kelompok/individu. Contohnya saja kelompok Partai Renew yang menaungi Presiden Prancis Emmanuel Macron. Dulunya, Renew merupakan sebuah pemain andalan di perpolitikan Uni Eropa, tetapi mereka menderita kekalahan yang signifikan di pemilu terakhir, sampai-sampai Macron yang menganggap kekalahan tersebut akan membawa dampak buruk ke dalam urusan domestik, segera membubarkan parlemen Prancis dan mengumumkan pengadaan pemilu cepat sehari setelah hasil pemilu dikeluarkan. Tidak hanya di Prancis, Belgia juga mengalami hal yang serupa. Setelah mengalami kekalahan telak dari partai-partai kanan seperti partai Vlaams Belang dan partai N-VA di Pemilu Belgia 2024, Perdana Menteri Belgia Alexander De Croo mengundurkan diri dari jabatannya pada 10 Juni 2024 dan akan menjadi perdana menteri ad hoc sampai sebuah pemerintahan baru didirikan. Sehari sebelumnya, Tom Ongena, pemimpin partai Open Flemish Liberals and Democrats (Open Vld) yang menaungi De Croo juga mengundurkan diri dari jabatannya.
Pergeseran politik ke kanan jauh, layaknya dengan segala pergeseran politik ke arah yang ekstrem, dikhawatirkan dapat memicu masalah yang lebih besar bagi demokrasi Uni Eropa yang rapuh. Efek ‘Orbán’ adalah salah satunya. Hungaria, dibawah pimpinan Presiden Viktor Orbán dan partai Fidesz yang populis, telah mengalami kemunduran demokrasi sejak kabinet pemerintahan keduanya berkuasa pada tahun 2010. Pemerintahannya membatasi kebebasan pers, memperlemah kemerdekaan yudisial, dan memperlemah demokrasi multipartai. Semua kebijakan tersebut dibela Orbán dengan mengatasnamakan “demokrasi Kristen iliberal”. Orbán memandang Uni Eropa sebagai sebuah lawan politik yang anti-nasionalis dan anti-Kristen. Di saat yang bersamaan, dana yang ia terima dari Uni Eropa malah ia salurkan kepada sanak kerabat dan pendukungnya. Oleh karena itu, pemerintahan yang ia jalankan dapat digolongkan sebagai sebuah kleptokrasi. Sejak tahun 2022, Parlemen Eropa sendiri memandang Hungaria sebagai negara demokrasi iliberal yang menurut pasal 7.1 Perjanjian Uni Eropa telah melanggar Perjanjian Uni Eropa. Pada bulan Januari 2024, 345 dari 478 anggota parlemen mendukung sebuah resolusi yang mendorong Dewan Uni Eropa untuk mencabut hak suara Hungaria dalam Uni Eropa berdasarkan pasal 7 Perjanjian Uni Eropa.
Kebijakan-kebijakan Orbán yang kerap kali bertentangan dengan kaum sentris, kiri, dan bahkan kanan terutama dalam perihal Ukraina membuatnya kurang bisa diterima di kelompok partai mana pun. Perbedaan ideologi seperti ini tentunya menjadi permaslahan tersendiri bagi kalangan sayap kanan di politik Uni Eropa. Pasalnya, kemampuan mereka untuk dapat memberikan pengaruh yang nyata di Parlemen Eropa akan sangat bergantung oleh seberapa bersatunya mereka. Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, dukungan terhadap Ukraina menjadi suatu perdebatan tersendiri di kalangan partai kanan jauh. Giorgia Meloni, Perdana Menteri Italia dan pemimpin kelompok politik Konservatif dan Reformis Eropa, sebelumnya menginginkan hubungan yang lebih erat dengan Rusia. Namun, setelah invasi Rusia terhadap Ukraina, ia telah bekerja secara kooperatif dengan pihak Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa dalam mengirimkan bala bantuan untuk Ukraina. Sementara itu, negara-negara seperti Slovakia dan Hungaria yang pemimpinnya masih menjalin hubungan yang erat dengan Presiden Rusia, Putin, memegang posisi pro-Rusia.
Jika ada satu isu dimana semua partai kanan jauh Eropa dapat berpendapat sepemikiran, masalah tersebut adalah imigrasi. Mereka berargumen bahwa imigrasi dapat berdampak ke sektor kesehatan, perumahan, dan biaya hidup. Permasalahan mengenai imigrasi selalu menjadi perdebatan yang panas, terlebih lagi setelah imigran datang dalam angka yang besar pada tahun 2015-2016. Agar tetap relevan, beberapa partai sentris ikut-ikutan meniru kebijakan partai kanan jauh dalam imigrasi. Hal ini diwujudkan dalam segelintir kebijakan imigrasi berdasarkan dua konsep. Pertama adalah outsourcing manajemen imigrasi, yang menghasilkan beberapa perjanjian dengan negara-negara Uni Eropa guna mencegah imigran mencapai Uni Eropa. Kedua adalah penggambaran migran sebagai ancaman keamanan negara, yang kemudian mendorong perancangan kebijakan-kebijakan terbaru mengenai kontrol perbatasan dan pencegahan para migran. Meskipun begitu, partai-partai kanan jauh kemungkinan besar akan mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak cukup keras.
Haluan politik Eropa yang akhir-akhir ini semakin bergeser ke kanan merupakan sebuah refleksi ketidakpuasan masyarakat Eropa atas keadaan sosial, politik, maupun ekonomi yang mereka jalani dibawah pemerintahan sebelumnya. Masyarakat yang memilih partai berideologi kanan jauh cenderung memilihnya sebagai reaksi terhadap “migrasi ekstrem”, biaya hidup yang semakin mahal, dan kebijakan luar negeri terutama dengan Ukraina. Maka dari itu, wajar saja jika muncul pertanyaan “Apakah sebenarnya rakyat yang memilih kanan jauh hanya menginginkan moderasi dan normalisasi?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H