Bagaimana sih rasanya mempunyai tanah yang luas berhektar-hektar dan ditumbuhi banyak pohon apel? Pemandangan semacam ini hanya bisa dilihat didalam layar kaca atau beruntungnya jika bisa berkunjung ke kebunnya langsung dan jika di daerah saya (Lubuklinggau) ada perkebunan seperti ini pasti akan selalu ramai dikunjungi untuk program sekolah atau experiental learning.Â
Sayangnya kegiatan ounting ini pun pada tahun ini tidak bisa dijalankan mengingat pandemi yang belum berakhir dan tak tahu kapan akan berakhir. Sungguh kenangan pada masa sebelum pandemi yang membuat kita masih bebas untuk berinteraksi dan jalan-jalan beramai-ramai adalah kenangan yang berharga untuk saat ini.
Mas Pur, seorang teman yang sudah enam bulan berada di Korea termasuk yang beruntung itu. Bukan hanya berkunjung tetapi juga menjadi bagian dari kebun apel itu.
Bukan, bukan mas Pur tidak berubah menjadi pohon apel. Dia dan beberapa pekerja lainnya menjadi pekerja harian yang diperkerjakan oleh  Sajang-nim (sebutan untuk pemilik usaha; Owner) dengan upah 75 ribu won perhariÂ
Mas Pur dan beberapa pekerja lainnya bertugas membersihkan daun-daun dan memangkas beberapa pohon yang daunnya rimbun, meskipun belum waktunya panen tapi beberapa apel sudah ada yang sudah matang dan Sajang-nim pun membolehkan mas Pur dan pekerja lainnya untuk mencicipi apelnya.
Bagaimana rasanya?
"Enak" jawab Mas Pur
Mas Pur bersama Azhari yang juga berasal Palembang dan juga teman satu apartemen, sangat memanfaatkan hari libur tersebut untuk berjalan-jalan, berkumpul bersama teman dari Indonesia dan memasak makanan khas Indonesia yang tidak ada di Korea. Meski hanya beberapa hari tetapi itu lebih dari cukup.Â
Setelah libur hari ini mas Pur harus kembali beraktivitas bekerja seperti biasanya, berangkat disaat ayam jago belum berkokok yaitu pukul 03:37 pagi (waktu Indonesia) menggunakan bus sebagai transportasi. Perkebunan apel ini letaknya agak jauh dari keramaian kota dan berlokasi di daerah GumiÂ