“Kan mereka emang udah biasa.” sahutku masa bodoh.
“Kamu sudah tinggal lima tahun di sana tapi masih belum terbiasa juga. Kamu kan muslim, masa nggak pernah mau puasa lagi? Dulu waktu kecil rajin sekali puasa.” Mama mencoba membangkitkan kenangan.
“Kalo Nina ada di Jakarta, Nina juga pasti puasa kok, Ma.” tukasku, masih masa bodoh.
“Kenapa waktu dan tempat malah jadi halangan? Lagipula, cuma sebulan kok dari duabelas bulan kamu diwajibkan puasa. Kalau tidak mau puasa ya kamu sholat lima waktu deh yang rajin.” pinta Mama.
“Ah, udah ah, Nina males aja ngejalanin puasa di sini. Mama nggak ngerti. Panasnya gila-gilaan, 35 derajat! Ntar Nina pingsan gimana? Nina kan harus kerja. Kerjaan Nina butuh konsentrasi yang luar biasa, kalo nggak ntar pesawat-pesawat itu pada tabrakan di langit!” aku berseru.
“Ya sudah, Mama mau sahur dulu di sini. Kamu tidur, lah Nin. Masih ada waktu kok kalo kamu mau coba puasa di sana.” ucap Mama lembut. Mendengar ucapan Mama yang seperti itu aku semakin kesal.
“Ya udah, terserah Nina dong!” sahutku, kali ini ketus to the max.
Susah sekali, sih membuat orang mengerti apa yang aku rasakan, ucapku dalam hati setelah percakapan dengan Mama selesai. Tapi aku memang sudah tahu. Seperti biasa, setiap Ramadan datang, Mama pasti akan mendorongku untuk puasa. Sepertinya Mama khawatir kalau kemuslimanku akan menipis karena tinggal di negara bule. Belum lagi besok-besoknya, Mama pasti akan menanyakan apakah aku pulang atau tidak. Memang sih, aku belum pernah pulang sekalipun untuk merayakan Lebaran selama bertahun-tahun aku mencari rejeki di sini karena bentrok dengan kerjaan dan sama sekali tidak bisa ambil cuti. Namun aku pasti akan menggantinya dengan menjenguk Mama di bulan-bulan berikutnya. Aku tahu Mama sangat mengharapkan aku pulang seperti impian seluruh orang tua di jagat raya ketika Idul Fitri tiba. Tapi aku punya kehidupan di sini. Pilihanku. Dan ketika Ramadan datang, terserah aku mau puasa atau tidak, toh aku sendiri yang mempertanggungjwabkan semuanya nanti.
Ah, semua perasaan ini membuatku sesak. Aku segera menyeruput teh hijau yang sudah berubah status dari panas menjadi suam-suam kuku. Jarum jam menunjuk ke angka sebelas. Aku segera bersiap karena Yazid sudah janji akan mengantarku ke acara Open House kedutaan yang dimulai tengah hari hingga pukul tiga sore. Meski ini adalah kali pertama aku datang, ia bilang itu bisa menjadi pengganti suasana kampung halaman, setidaknya di sana aku akan bertemu orang-orang yang sebangsa denganku.
Di tengah perjalanan, di balik kemudi, Yazid banyak bercerita tentang keluarganya yang sebagian besar berada di Tangier, sebuah kota turistik pinggir pantai yang sangat indah di Maroko. Kuperhatikan raut wajahnya sedikit berubah ketika ia bercerita tentang orang tuanya.
"Kau mungkin bilang kalau kau adalah orang yang sangat tidak beruntung di dunia karena tidak bisa berkumpul menikmati Idul Fitri bersama orang tuamu. Maksudku, menikmati secara nyata, berdekatan, bersentuhan." ucapnya lalu menyalakan lampu sein karena ia harus belok ke kanan.