Pinggir kota Paris, 4 Juni, pagi ini. Langit yang mendung seakan mengikuti langkahku ketika berjalan menuju sebuah masjid untuk melakukan sholat Idul Fitri yang dimulai pukul sembilan. Yazid, pemuda asal Maroko yang sudah sebulan ini dekat denganku berjalan mengikuti dari belakang.
"Kuharap hujan datang seusai sholat." ujarnya setelah menyejajarkan langkahnya denganku. Aku tidak menggubris, masih berkonsentrasi pada langkah kakiku.
"Kau nampak sedih." komentarnya sambil merapikan gamis putih yang katanya dikirimkan pamannya langsung dari Marrakech, salah satu kota di Maroko.
"Aku baik-baik saja, hanya menjadi teringat akan kenanganku dulu tentang masjid di malam-malam bulan puasa." sahutku pelan. Yazid hanya tersenyum kecil mendengarnya.
Sesampainya di bangunan yang tak berkubah dan tak jauh dari tempat tinggalku itu, aku mengambil posisi di barisan ketiga dari belakang. Kulihat orang-orang mulai berdatangan, sebagian besar bersama anggota keluarga. Aku menghela nafas. Sudah lima tahun, semenjak aku mencoba peruntungan untuk merajut hidup di negara ini, aku belum pernah sekalipun menginjakkan kakiku di masjid. Jangankan ke masjid, tiap Ramadan pun, aku selalu bolos.
Pikiranku akhirnya mengembara menuju saat-saat aku masih remaja yang tidak pernah absen datang ke masjid untuk melakukan sholat tarawih. Selain memang ada tugas harus meminta tanda tangan Imam selesai ceramah demi nilai bagus pada mata pelajaran Agama, aku sangat menikmati saat-saat kebersamaan dengan kawan-kawan seusiaku, pergi dan pulang beramai-ramai, sholat bersama meski selalu memilih untuk berada di barisan belakang dan sering diomelin ibu-ibu karena kami berisik sibuk cekikikan. Ah, kenangan itu. Aku tersenyum-senyum sendiri.
Selesai sholat, sesampainya di apartemen, kuterima pesan singkat dari Mama yang mengucapkan selamat Lebaran lalu mengatakan kalau ia masih harus puasa beberapa jam lagi karena tahun ini, negara tempatku bermukim merayakan Lebaran satu hari lebih awal. Setelah membalas pesan Mama, aku membuatkan diriku secangkir teh hijau. Kupandangi luar jendela yang mulai basah tersentuh air hujan. Apa enaknya Lebaran sendiri begini ditambah aku yang tidak menjalankan puasa sama sekali. Apa pantas aku mengikuti sholat Ied dan mendapatkan ucapan Idul Fitri dari mereka yang hadir di masjid tadi terlebih dari orangtuaku sendiri? Tiba-tiba aku teringat percakapanku dengan Mama di awal Ramadan.
“Kau tidak puasa lagi tahun ini?” tanya Mama pelan ketika aku berbicara dengannya melalui telepon.
“Nggak ah, kelamaan! Sahur jam tiga pagi beduk jam sepuluh malem. Bisa pingsan Nina siangnya.” jawabku ketus.
“Lah, orang-orang muslim di sana juga pada puasa, kan? Mereka kok bisa?” tanya Mama mencoba memberikan konfrontasi.