Mohon tunggu...
depp depri
depp depri Mohon Tunggu... Tentara - Menulis menulis menulis

souldrenalin! satu kata yang cukup untuk mendeskripsikan bagian besar pribadi saya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perspektifku

25 Januari 2016   16:28 Diperbarui: 25 Januari 2016   16:28 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Singkat cerita, si kawan ini tengah berbahagia atas kelahiran putri ke duanya dan tak sabar untuk berbagi kabar bahagia itu pada rekan-rekannya di sosial media. "Alhamdulillah.. Bla.. Bla.. Bla.." Tulisnya, penuh syukur. Detik ke menit, menit ke jam, kabar bahagia dari si kawan itu ternyata ramai sambutan dan direspon gembira oleh teman-temannya. Ucapan selamat dan ungkapan sukacita segera bertebaran di kolom komentar. Pun mereka yg merasa tak begitu perlu untuk turut serta membubuhi kolom komentar, cukuplah perasaan gembira itu mereka ungkapkan dengan me-like postingan si kawan sebagai ganti kalimat sukacita.

Lazimnya pasca persalinan, urusan tugas rumah tangga mesti timpang karena sang istri jelas hanya boleh mengistirahatkan diri selama masa pemulihan dengan si suami sebagai tumpu segala urusan. Intinya selama masa ini, seluruh kerepotan rumah tangga hanya milik suami. Si kawan yang tengah bahagia ini jelas tak luput dari intaian kerepotan khas pasca lahiran tersebut. Apalagi dilihat dari jenisnya, si kawan ini tergolong jenis suami yg lebih memilih memikul semua kerepotan itu dengan penuh cinta. Memasak, mencuci, dan merapikan rumah di masa ini adalah bukti cinta yang sesungguhnya (menurut si kawan)

Sementara si kawan ini tengah tenggelam dalam kerepotannya, ia tak sempat tahu lagi jika kabar yang disebarnya di sosial media itu terus menuai tanggapan, terus mendapat balasan. Alhasil komentar-komentar dan jumlah like yang terus bertambah di postingan itu sama sekali terabaikan, ucapan dan ungkapan itu kini miskin interaksi. Ya, kita tahu bahwa itu bukan unsur kesengajaan. Tapi bukankah tidak setiap kita melulu bisa dan atau mau peduli untuk sekedar memahami situasi dan kondisi orang lain? Bahkan ada di antara kita yang mampu tersinggung hanya karena pembiaran komentarnya di sebuah postingan. Ajaib, bukan?

Kakak, si kawan yang mengetahui hal ini, paham akan adanya bakal bibit kebencian dalam postingan itu. Dan karena ia juga mafhum bahwa si adik tak akan sempat mengatasi kerepotan ini karena tengah sibuk dengan kerepotan sesungguhnya. Maka si kakak berinisiatif untuk bantu memikul kerepotan si adik yang datang dari lain jurusan itu dengan me-like setiap komentar satu per satu. Bayangkan, betapa kompaknya mereka bahkan untuk urusan sesepele itu. Betapa peka perasaan mereka jika menyangkut perasaan orang lain.

Bagi pihak tertentu, mungkin tindakan si kakak itu tak berarti apa-apa selain pelipur kecut hati atas komentar yang sepi tanggapan. "Komentarku ada yang nge-like" batinnya, campur senang. Hanya sebatas itu pemaknaan yang mampu mereka tangkap. Bukan karena bodoh atau tidak peka. Tapi karena memang hanya hal-hal seperti itulah yang hendak mereka pedulikan. "Jika aku sudah turun "peduli" maka aku mesti mendapat atensi" begitulah kalkulasi mereka dalam bersosialisasi. Dan pihak-pihak serupa itulah yang menjadi target si kakak. Pada mental-mental merekalah letak misi si kakak berada: Membunuh Bibit Kebencian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun