Aku sudah selesai bicara. Dia tertunduk, menekuri kalimatku yg menjadi dilema di hatinya. Hening sejenak. Gemerincik hujan bertalu menerpa atap kanopi dari plastik di teras pintu masuk kedai makanan cepat saji.
"Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Semua sudah kukatakan, kesungguhan sudah kutunjukkan, bahkan hingga bersitegang setiap kali berbantahan mengenai hal kita" Dia berbicara tanpa menatapku. Tertunduk meremas jemari di pangkuannya. suaranya terdengar berat.
"Aku ingin tetap disini, Bara. Aku merasa hatiku ingin disini. Tapi aku tak bisa lagi berbantahan dengan mereka. Bukan, Bara, bukan karena aku tersudut dalam setiap pertengkaran. Ya Tuhan, coba kaubayangkan aku bahkan bertengkar dengan mereka, Bara" Dia menangkupkan kedua tangan ke wajahnya. Bicaranya terhenti. Menarik nafas dalam. Hening kembali.
Hujan di luar kian deras mengguyur kota. Hawa dingin mulai merayap dan membungkus tubuhku. Aku menggepit jemariku yg terjalin diantara kedua lutut. Menatap diam dia yg masih tertunduk menutup wajah.
"Tangisnyalah yg membungkam mulut dan melemahkan hatiku. Aku tak mampu lagi melihat air matanya, Bara. Seluruh tubuhku bergetar melihat linang di matanya. Seketika aku merasa diriku ini bagai anak paling durhaka. Aku tak mengerti apa yg membuatnya hingga sampai sedemikian itu menyangkal kita. Seolah aku ini akan mati jika tetap bersikeras untuk tinggal di sini" Dia membuka wajahnya, menatapku. Aku gelisah sendiri mematut wajahku yg kebas. Serba tak yakin hendak berkata dan merespon perkataannya.
Percakapan mengenai hal ini entah sudah kali yg ke berapa sejak kami berencana untuk saling mengikat janji, tiga bulan lalu. Air matanya berderaian saat kali pertama ia mengadukan hal ini kepadku. Tangisnya sepi, tapi kuyup sampai ke hatiku. Aku menggigit bibir bagian dalam, menguatkan diri dan tersenyum kepadanya. Menyemangatinya semampu pikiranku dapat merangkai kata dalam situasi sekalut itu. "Aku laki-laki, dan ia butuh peran kelelakianku di saat-saat seperti ini" batinku meraung geram.
"hey, jangan terburu-buru menyimpulkan sesuatu. Biasakanlah selalu menilik segi positif bahkan dalam situasi terburuk sekalipun. Apa yg tampak tidak mutlak berisi pesan seperti yg dikesankan. Mungkin saja mereka hanya ingin mengetes sejauh mana keyakinanmu akan hal keinginan kita yg kausampaikan ke mereka itu. Tersenyumlah, tunjukan semangat dan yakinkan mereka dengan keyakinanmu. Toh bila memang milikmu pasti hanya akan kembali padamu, bukan?" aku tersenyum. Ia balas tersenyum dan suasana kembali hangat. Tapi kali ini aku merasa permasalahan ini sudah pada puncaknya. Pengaduannya seminggu terakhir ini sudah tak lagi mengesankan keluh kesah yg minta disemangati. Aku merasa Inilah pemberitahuan yg sesungguhnya kepadaku. Inilah keputusan hasil perjuangan tiga bulan itu.
"Kau tahu semua isi hatiku, Bara. Kau tahu bagaimana inginnya aku untuk tetap di sini bersamamu. Aku ingin di sini, Bara. Demi Tuhan aku sungguh ingin di sini bersamamu" matanya berkaca-kaca manatapku. Suaranya kian berat dan terputus-putus oleh nafas yg tercekat. Aku menelan ludah, gentar mendengar kalimat berikutnya
"Tapi aku sudah selesai dengan semua ini, Bara. Aku sudah puas bertanya-tanya pada hatiku dan aku sudah cukup mengadukan hal ini pada Tuhan. Aku harus yakin akan apa yg kuyakini dan aku harus tegas menentukan sikap. Kau tahu, Bara? Dalam hidup ini setiap kita akan menentukan pilihan hidup berdasarkan dua hal, keinginan dan alasan. Berbahagialah orang yg memutuskan pilihan hidupnya berdasarkan keinginan. Karena sebagian lainya, meskipun sangat ingin, mereka hanya bisa merelakan keinginannya demi menjalani kehidupan yg dipilihnya berdasarkan alasan.
Aku tak bisa melangkah lebih jauh lagi, Bara. Aku tak bisa terus berada di sini bersamamu. Air mata Ibu adalah alasanku atas keputusan ini" Ia mengatupkan mulutnya. menatapku dengan wajah seribu duka. bulir air mata meluncur dari sudut matanya. Aku duduk mematung menatap kosong. Pikiranku berhamburan entah kemana. Aku bahkan tak yakin apakah diriku benar-benar berada disitu menatapnya.
"Kau pria tangguh, bara. Aku bersyukur bisa mengenalmu. Kau cerita terhebat dalam hidupku. Terima kasih untuk semuanya, Bara. Tuhan tidak bersama kita di jalan ini"