Mohon tunggu...
Depitriadi Putra Piliang
Depitriadi Putra Piliang Mohon Tunggu... -

Nama lengkap : Depitradi Tempat tgl lahir : Sungai Penuh,17 februari 1991 Pekerjaan : Mahasiswa S1 universitas Andalas Agama : Islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wajah Paradoksal Pendidikan

3 Agustus 2012   08:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:17 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan dan sekolah diibaratkan ikan dan air, ikan tidak dapat hidup jika tanpa air, pendidikan tidak dapat berjalan jika tanpa sekolah, baik itu sekolah formal maupun sekolah non-formal. Sekolah formal merupakan tempat dimana terselenggaranya pendidikan melalui proses belajar-mengajar secara berjenjang, memiliki kurikulum, dan berkesinambungan, sedangkan sekolah non-formal merupakan tempat dimana terselenggarakannya pendidikan melalui kegiatan belajar-mengajar yang tak harus berjenjang dan memakai kurikulum, namun tetap berkesinambungan. Intinya sekolah merupakan tempat dimana terselenggarakannya proses penggalian potensi yang dimiliki oleh seseorang yang berlangsung terus-menerus.

Watak seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajari, lingkungan sekolah tempat belajar (pendidikan), lingkungan sosial tempat berinteraksi, lingkungan keluarga, lingkungan tempat dia tinggal, sistem politik yang mengatur kehidupan, dan entitas-entitas lain yang membentuk dan mempengaruhi kesadaran.

Pendidikan mempengaruhi watak seseorang melalui media sekolah, yang menjadi pertanyaannya, bagaimanakan cara sekolah mempengaruhi watak seseorang? Dalam hal ini kita bisa melacaknya dari visi-misi yang diusung oleh sekolah itu sendiri, karena dari visi-misi tersebut secara tidak langsung kita bisa menerawang agenda-agenda yang akan dilakukan sekolah dalam rangka menjalankan proses pendidikan.

Sekolah formal memiliki visi-misi umum seperti mencerdaskan anak bangsa, menciptakan manusia-manusia yang demokratis, berakhlak mulia, kreatif, inovatif, cakap, berkopeten, serta menjunjung tinggi persamaan derajat/anti-diskriminasi.

Terkait visi dari sekolah diatas maka akan muncul pertanyaan, apakah visi-misi sekolah yang sangat mulia tersebut sudah berjalan dengan semestinya ditengah-tengah fakta yang berkembang tentang wajah sekolah yang ambigu, kontraduktif dan paradox?

Ambiguitas, kontradiksi, dan paradoksal sekolah di Indonesia

Pertama, mencerdaskan anak bangsa. Visi sekolah untuk menciptakan manusia-manusia yang cerdas ( intelektual) pada faktanya belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Fakta yang ditemui adalah sekolah hanya menghasilkan "mesin-mesin intelektual" yang dibiasakan mengkonsumsi ilmu-ilmu pengetahuan yang telah ada sebelumnya yang merupakan hasil dari intelektual barat. Akibat buruk dari kebiasaan mengkonsumsi ilmu pengetahuan ini adalah sangat mudahnya bangsa kita di "dikte" oleh bangsa lain ataupun bangsa pencipta ilmu pengetahuan itu sendiri, artinya kita telah menerima semua kebenaran dari ilmu pengetahuan tersebut tanpa ada daya dan upaya untuk mencari tahu kebenaran sendiri. Kemudian akibat buruknya adalah intelektual kita tidak dipandang di dunia internasional karena intelektual kita hanya mampu "mengkonsumsi" tidak mampu "memproduksi" ilmu pengetahuan.

Selain itu ada fakta yang sangat menonjol akhir-akhir ini mengenai visi sekolah dalam rangka mencerdaskan anak bangsa yang selalu digembar-gemborkan, sekolah seakan-seakan hanya mencerdaskan anak-anak bangsa yang memiliki modal (capital), hal ini dapat dilihat dari biaya sekolah yang mahal, seperti mahalnya buku materi (paket), seragam sekolah yang di variasikan (SMA : putih abu-abu, olahraga, batik, muslim, pramuka), serta pungutan-pungutan lainnya diluar dari pungutan wajib yang dibebankan kepada peserta didik. Nah, ini telah menghambat pendidikan untuk semua warga Negara yang dicanangkan oleh pemerintah.

Kedua fakta diatas setidaknya mampu menjelaskan bahwa visi sekolah dalam rangka mencerdaskan anak bangsa belum berjalan dengan apa yang diharapkan.

Kedua, menciptakan manusia-manusia yang demokratis. Pada prakteknya selama ini masih banyak sekolah-sekolah yang menganut paham anti-demokrasi. Ini dapat kita lihat dari tidak adanya kesempatan bagi peserta didik untuk berfikir "kritis" dengan tindakan tenaga didik yang otoriter, seolah-olah " maha benar tenaga didik dengan segala firmannya". Terkadang dalam proses belajar-mengajar juga terdapat tenaga didik yang menaruh dendam kepada peserta didik ketika apa-apa yang disampaikan ditanggapi atau dibantah oleh peserta didik, hal ini dilakukan dengan cara menekan nilai dari peserta didik yang bersangkutan. Masih banyak lagi kasus-kasus yang menggambarkan bahwa sekolah menganut paham anti-demokrasi, hal ini sangat berlawanan dengan visi sekolah yang seharusnya menciptakan manusia-manusia yang demokratis.

Ketiga, menjunjung tinggi persamaan derajat/anti-diskriminasi. Pernahkah anda membaca buku "orang miskin dilarang sekolah" karya Eko prasetyo?. Dalam buku tersebut jalas sekali terdapat tindakan diskriminasi, seolah-olah yang boleh sekolah itu hanya orang yang berduit, dan orang-orang yang miskin tempatnya bukan disekolah. Kemudian juga di buku "orang cacat dilarang sekolah" , lagi-lagi terjadi tindakan diskriminasi diranah pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun