Mohon tunggu...
monica devi
monica devi Mohon Tunggu... -

SMA. IPA. Komputer. Membaca-Menulis-Menyanyi. depimomo[dot]blogspot[dot]com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berlebihan Ah!

25 September 2013   20:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:24 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terbayang di benak Anda saat mendengar kata sinetron, khususnya sinetron sore menjelang malam Indonesia? Ada dua kata yang mampu meringkas mayoritas sinetron di Indonesia: lebay maksimal!

Mungkin ini cuma perasaan saya saja, namun rasanya tiap kali nonton sinetron, di stasiun manapun, pasti topiknya gak jauh-jauh banget dari cinta segitiga, segi empat, sampai lingkaran, ada juga kisah si-baik-miskin-versus-si-jahat-kaya, kesirikan tokoh jahat dengan tokoh baik (yang berujung pada derita tiada akhir si baik), azab dan kutukan (biasanya ditambah bumbu hal-hal mistis), atau komedi nanggung. Tayangan spesies ini membuat saya merasa cukup beruntung disediakan fasilitas berupa tv kabel dan internet.

Ya, sebenarnya tujuan dari sinetron-sinetron itu (awalnya) baik loh. Selain sebagai hiburan gratis (hanya perlu menyaksikan sedikit iklan), juga sebagai bahan edukasi masyarakat, apalagi lewat cerita dengan plot tak jauh-jauh dari si-baik-akhirnya-menang-dan-si-jahat-menderita-selama-lamanya.

Saya sempat berangan, coba aja kalau sinetron ga dibuat lebay maksimal dengan tante-tante menor (bahkan gadis-gadis juga menor) bermobil, om-om tambun kaya yang bisanya cuma merintah dan marah-marah, atau keluarga miskin tertindas. Kalau mau bikin orang tobat, ada baiknya cerita dibuat minimalis, dekat dengan kehidupan tapi efeknya jleb banget.

Coba bandingkan, seorang lintah darat (agak lebay juga sih istilah ini sebenernya, ya anggep aja mahasiswa yang suka minjemin duit ke temen-temennya tapi minta pamrih terus. Kalo di protes, pake senjata 'bagus ye, dulu pas lu suse gue pinjemin duit, sekarang lu kaya gini') yang menonton sinetron tentang cerita serupa, namun kadar lebaynya 500% (barusan saya nonton tante-tante menor pemberi pinjaman yang doyannya marah-marah dan bentak-bentak ngambil kambing satu-satunya milik bapak miskin yang belom bisa bayar utang ). Nah, temen-temennya kan berharap dia sadar nih, terus bilang: 'hmm, kayaknya jadi inget apaa gitu ya?'

Dia pasti bakal ngelak kalo misalnya dia ga selebay itu, sampe ambil harta satu-satunya orang lain terus tertawa penuh kemenangan. Terus, dia bisa bilang kalau ini sinetron murahan, lebay, gak mendidik, mengada-ngada, terus dimatiin deh tv-nya. Temen-temennya cuma melongo deh.

Nah, coba kalau sinetronnya dibikin lebih ringan, lebih membumi, yang bisa bikin orang lain berseru 'gue banget ni!'. Pasti itu sinetron ditonton sekeluarga, kayak spesies keluarga cemara, si doel, dll. Sinetron ABG-ABG-nya juga yang lebih realistis. Pernah liat ABG pake dandanan menor, rok mini, dan masing-masing punya mobil pribadi buat jalan-jalan sesuka hati itu seliweran di dunia nyata? Menurut saya, orang yang pascasejahtera (lawannya prasejahtera harusnya pasca sejahtera kan?) juga tidak selebay dan sejahat itu (semoga).

Jadi lain kali, ketika lagi nonton film rame-rame dan tindakan tokoh utamanya kebetulan mirip sama keadaan sebenarnya, pasti yang ngerasa lebih kesindir dan berasa dibanding metafor lebay yang terasa tidak nyata. Adakah yang sependapat?

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun