Suatu hari seorang teman bercerita kepada saya mengenai acara liburannya. Ia mengeluhkan bahwa orang tuanya selalu mengajaknya berlibur ke Hong Kong. Padahal ia sudah bosan liburan ke Hong Kong dan ingin berlibur ke negara lain. Mennaggapi ceritanya saya hanya bisa tersenyum dan saat itu saya merasa bahwa senyuman adalah jawaban yang paling baik.
Namun, dalam hati kecil saya tercetus sebuah pertanyaan: Mengapa manusia tidak pernah puas? Dalam kasus teman saya ini, saya merasa bahwa bisa berlibur ke Hong Kong adalah suatu rahmat yang luar biasa. Tentu saja karena saya belum pernah ke luar negeri barang satu kali pun.
Pertanyaan ini telah lama saya pendam, akhirnya hari ini saya mendapatkan jawabannya. Walaupun mungkin tidak 100% terpuaskan, tapi jawaban ini cukup mengobati rasa ingin tahu saya yang terus-menerus minta dijawab.
Kehendak manusia selalu terarah kepada kebaikan yang tak terbatas. Tetapi selama manusia hidup, ia hanya akan menerima kebaikan yang terbatas saja. Karena manusia memiliki “kebebasan kehendak”, manusia tidak harus memilih yang terbatas itu. Kebaikan baru diterima sebagai kebaikan kalau manusia sudah mendapatkan kebaikan yang tidakterbatas.
Misalnya begini. Saya menginginkan sop kambing, lalu saya dihadapkan pada seratus menu lain yang bisa saya pilih. Bisa saja saat itu saya memilih nasi goreng atau gado-gado, bukannya sop kambing seperti yang saya kehendaki. Dalam contoh ini, makanan yang bisa saya pilih adalah pemenuhan kehendak saya yang baik, tapi terbatas. Sedangkan memilih untuk makan sop kambing atau gado-gado adalah kebebasan kehendak yang saya miliki.
Ketidakmampuan manusia untuk memenuhi kehendaknya untuk mendapatkan kebaikan yang tidak terbatas adalah penyebab mengapa manusia tidak pernah puas. Kalau begitu bukankah ketidakpuasan adalah manusiawi?
Di ambil dari http://depeholic.wordpress.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H