Ujung jari-jariku menari-nari di atas keyboard sebuah laptop hitam dengan processor Intel Celeron 1,6 GHz ini. Ide yang berjejal di otak ini sejak tadi ingin kukeluarkan saja dan dialirkan melalui sebuah tulisan yang mungkin sedikit namun meninggalkan pesan dan kesan. Sepasang bola mata terfokus pada sebuah layar 14 inchi, bergerak mengikuti huruf dan kata-kata yang terketik.
Kelopak mata yang dari tadi serasa terkena lem kemudian menutup bersamaan dengan leher yang tidak mampu menyangga kepalaku. Tekluk..! Kepalaku terdunduk ke depan, sesaat kemudian aku tersadar tidak ingin dikalahkan rasa kantuk yang sejak tadi menghinggapi.
Dalam fluktuasi kesadaranku itu, remang-remang aku lalu berpikir. Mengapa manusia mengantuk? Bukan karena kurang tidur jawaban yang kucari. Lebih tepatnya, mengapa manusia diberikan rasa kantuk?
Dengan kesadaran yang sempoyongan saya lalu berpikir, bagaimana kalau orang tidak punya rasa kantuk? Karena rasa kantuk jelas mengganggu, baik ketika sedang bekerja atau sedang berkendara. Namun saya segera menangkap, apakah justru tidak berbahaya kalau orang tidak mempunyai rasa kantuk? Orang lagi naik motor tahu-tahu tidur aja. Angka kecelakaan bisa meningkat drastis kalau orang tidak mempunyai rasa kantuk.
Namun nyatanya kita selalu meng-kambing hitam-kan rasa kantuk itu sendiri. Orang tabrakan, yang disalahkan mengantuknya. Seharusnya kita bersyukur masih diberi rasa kantuk. Itu sebuah pertanda bahwa raga perlu istirahat. Kalau sudah diberi tanda, namun diabaikan, yang rugi diri sendiri.
Seiring dengan kesadaran akan pemikiran itu, aku lalu menyimpan tulisanku dan mematikan laptopku, beranjak menuju ke peraduanku. z..Z..Z..z..z.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H