“Tidak ada independensi tanpa suatu tendensi”
Sebuah frase kata di atas menurut saya menggambarkan segala tindakan kita. Baik sebagai individu, makhluk sosial, warga Negara, umat beragama ataupun mewakili golongan. Tidak ada perilaku kita, hal sekecil apapun itu tanpa didasari suatu tujuan. Bahkan suatu keikhlasan, menurut saya masih mengandung sikap tendensi yaitu untuk menenangkan hati dan jiwa, bagi sebagian mengharap balasan dari Sang Pencipta.
Minggu-minggu ini, hampir semua indera kita terusik dengan kisruh yang terjadi dalam penegakkan korupsi di negeri ini. Mengapa saya tidak menyebut kisruh antara KPK dan Polri atau KPK dengan lembaga lain berikut akan saya uraikan alasannya.
Sebelumnya, ada beberapa komponen yang turut berperan dalam membentuk opini kita dalam masalah ini. Pertama, penegak hukum, termasuk KPK, POLRI, Kejaksaan, Hakim serta Advokat. Kedua, Lembaga pembuat peraturan, DPR beserta staff-staff ahlinya dan Presiden. Ketiga, subyek pelaku tindak pidana korupsi.
Idealnya, para penegak hukum saling bersinergi dengan para pembuat peraturan agar bagaimana dapat memberantas dan mencegah lahirnya koruptor. Namun, dalam arena pertandingan ini, belakangan tidak jelas siapa kawan siapa lawan. Isu tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah beralih menjadi pertandingan antar penegak hukum, antar penegak hukum dengan pembuat peraturan perundang-undangan. Mereka menjadi lupa atau entah melupakan diri, siapa mereka dan apa tujuannya karena terlalu banyak topeng yang dipakai. Hal ini dapat dimaklumi, karena baik penegak hukum, pembuat peraturan di sisi lain juga merupakan koruptor itu sendiri. Sehingga tendensi atau tujuannya tidak lagi memberantas korupsi atau membuat peraturan yang membatasi ruang gerak koruptor, namun itu hanya dijadikan kemasan yang tampak dari luar. Di dalamnya, mereka mempunyai misi lain yang entah disadari atau tidak untuk memperkaya diri sendiri.
Media massa ramai-ramai menjadikan perseteruan KPK dengan DPR atau perseteruan KPK dengan POLRI sebagai headline. Bahkan layaknya sebuah buku berseri, KPK versus POLRI ada jilid I dan jilid II. Tendensi sebagian media massa bukan lagi sebagai sarana pendidikan dan kontrol terhadap tindakan korupsi itu sendiri namun lebih untuk menarik animo masyarakat. Sebagian masyarakat juga terbawa dengan isu tersebut sehingga secara tidak langsung dia terbawa untuk memblok ke salah satu institusi yang seharusnya saling bersinergi memberantas korupsi. Yang sudah pasti menikmati hiruk pikuk antar institusi adalah koruptor itu sendiri.
Selayaknya, kita sebagai warga Negara harus fokus pada inti masalah kita untuk melawan korupsi, entah nanti kemasannya melawan POLRI, DPR atau bahkan Presiden. Hal itu yang harusnya selalu tertancap di benak kita.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H