Mohon tunggu...
Dicky Panji Saputra
Dicky Panji Saputra Mohon Tunggu... -

Saya sedang bersekolah di Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pertanda

23 November 2014   18:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:03 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu hari Jumat, matahari masih menyembunyikan sebagian tubuhnya di bumi bagian timur. Aku telah berada di jalan menuju sekolah dengan menggunakan sepeda tentunya. Dengan baju olahraga yang kupakai saat itu, hawa dingin yang tidak enak tiba-tiba membuat tulangku terasa seperti ingin membeku. Aku tak tahu mengapa hawa dingin pagi ini membuatku menjadi merasa lain. Semakin cepat aku mengayuh sepeda, semakin dingin dan gelisah pula rasa yang ada di dalam hatiku. Hingga pada saatnya, aku telah tiba di sekolah dan kusandarkan sepedaku di tiang parkiran belakang sekolah. Aku terkejut setengah mati dengan apa yang kulihat. Ada seorang wanita yang mati mengenaskan di depanku. Kepalanya pecah dengan darah yang bercucuran di sekitarnya. Kejadian tersebut terjadi di sekitar parkiran sepeda di sekolah. Telapak sepatuku meninggalkan jejak darah di sepanjang aku menginjakkan langkahku. Hanya aku yang mengalami kejadian inipada waktu itu, sementara yang lain tidak bisa melihatnya secara langsung.

Badanku lemas dan terasa berat untuk berjalan menuju kelas. Teman yang duduk di sebelahku terus memperhatikan diriku seiring pelajaran berjalan dan ia melihat bahwa wajahku terlihat begitu pucat. Berkali-kali ia memintaku untuk pergi ke klinik sekolah untuk beristirahat. Namun, aku tak mau karena aku tak ingin ketinggalan pelajaran.

Kriiing… kriiing… kriiing… Suara bel sekolah telah menandakan jam pelajaran sudah berakhir. Dengan lemas aku berjalan menuju parkiran sepeda. Kepalaku terasa sangat pusing. Sesampai di rumah, aku lekas mengganti pakaianku dan berbaring di kasur. Setelah aku bangun, aku menceritakan apa yang sudah kulihat tadi pagi di sekolah kepada orang tuaku.

“Yah, tadi aku lihat seorang wanita yang mati mengenaskan tepat di depanku.” Ujarku dengan pelan.

“Terus, kenapa tidak kamu tolong orang itu?” Tanya ayahku dengan santai.

“Bukanya tidak mau menolong, tapi melihatnya pun sudah mengerikan, wong itu bukan dari alam kita lhoo.”Jelasku lebih lanjut. Barulah ayahku mengerti. Ayahku bilang bahwa apa yang kurasakan saat ini berhubungan langsung dengan peristiwa tadi pagi di sekolah.

Kadang aku bingung dengan pemberian tuhan yang satu ini, yaitu pengelihatan yang jarang dimiliki semua orang. Sayangnya kemampuan ini terjadi kadang-kadang saja, sehingga aku tak terbiasa melihat langsung peristiwa yang baru kualami. Jika di sekolah terjadi peristiwa mengerikan seperti kesurupan masal, aku selalu melihat dengan tidak sengaja sosok yang mengerikan hadir dalam peristiwa tersebut. Aku tak ingin orang lain tahu jika aku dapat melihat hal seperti ini secara langsung atau kasat mata. Aku hanya takut dijauhi oleh teman-temanku jika mereka tahu akan hal ini.

Satu minggu setelah peristiwa tersebut, ada hal yang terjadi kepada salah satu keluargaku. Di sore hari, setelah hujan reda ayahku pergi ke belakang rumah untuk menengok hewan ternaknya. Tempat yang becek terlihat begitu licin. Kemudian ayahku terpeleset dan terjatuh dengan kerasnya. Saat itu aku dan saudaraku masih menjalani sesi karate di sebuah gedung yang letaknya cukup dekat dengan rumahku. Ibuku langsung sigap pergi ke belakang dan menolong ayahku yang kesusahan untuk berdiri. Berberapa bagian tubuhnya tidak dapat digerakkan dan ibuku terpaksa harus membantu ayah dengan sekuat tenaga.

Begitu sampai di rumah aku dan saudaraku terkejut akan hal ini. Suasana rumah tidak terlihat seperti biasanya. Sedikit lebih tenang dan sunyi, televisi menyala dengan suara sangat pelan. Ketika aku melihat ke dalam kamar, ayahku terbaring dan ia menatapku dengan senyuman. Matanya tampak merah. Kemudian, ibuku menyuruh untuk meninggalkan kamar tersebut. Ibu bilang untuk jangan mengganggu ayah dahulu, karena ia sedang istirahat. Setelah ibu menceritakan apa yang terjadi, kami mulai mengerti apa yang sedang terjadi. Saat itu, azan magrib mulai berkumandang. Setelah mandi aku dan saudaraku mengambil Al Qur’an dan membacakan Surat Yasin pada malam itu.

Setelah banyak peristiwa aneh yang terjadi kepada keluargaku, kami sekeluarga menjadi lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Mungkin semua ini adalah cobaan yang diberikan oleh Tuhan kepada kami agar kami senantiasa berada di jalan yang benar.

Oleh Dicky Panji Saputra

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun