Mohon tunggu...
Vinsensius Mischa Aldeo
Vinsensius Mischa Aldeo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Postulan Stella Maris Malang

More than Words.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Komunitas Religius: Rumah Paradoks

15 Februari 2023   22:13 Diperbarui: 19 Februari 2023   14:00 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Kayu Tangan, Keuskupan Malang (Sumber: Dokumen Pribadi).

Ada berbagai bentuk komunitas dan tarafnya. Ada sekelompok orang yang tinggal bersama di satu apartemen. Mereka tinggal bersama, saling kenal dan bergaul tetapi hubungan mereka bersifat dangkal, hanya sekadar "tahu nama". Ada pula sekolompok orang yang tinggal bersama untuk bekerja dalam sebuah proyek. Mereka tidak hanya tinggal bersama melainkan juga berdialog, saling mengenal dan saling memahami satu sama lain. Jadi, mutu komunikasi antar para anggota menentukan kualitas sebuah komunitas.

            Komunitas religius mengartikan sebuah komunitas yang memiliki mutu komunikasi mendalam. Mutu itu menjadi mendalam karena kata "religius" mewajibkan komunikasi yang ada diikat oleh aksen utama yaitu cintakasih. Komunitas religius menghimpun sekolompok orang yang menjawab panggilan cintakasih Allah untuk hidup serumah. Rumah yang dimaksudkan bukan hanya soal house melainkan juga home. Rumah yang benar-benar rumah bukan hanya sekadar bangunan fisik.  Home atau foyer  dalam bahasa Perancis adalah tempat dimana orang merasa aman, nyaman, betah dan tidak takut. Rumah adalah tempat berlindung dimana orang beristirahat dan disembuhkan. Rumah mendengungkan berbagai perasaan dan emosi yang membentuk satu gambaran, yaitu gambaran bahwa tempat itu baik untuk ditinggali karena kasih.

            Komunitas religius bisa saja memiliki house dan home sekaligus. Namun, dalam realitanya seringkali hanya ada house sedangkan home-nya rapuh atau bahkan tak ada sama sekali. Komunitas religius terdiri dari sekian banyak orang yang berbeda umur, pendidikan, latar belakang, budaya, watak dan pandangan tidak mudah untuk disatukan dalam satu motivasi, norma, hukum, dsb. Komunitas religius memang diikat oleh satu motivasi luhur; yakni sama-sama mengikuti Yesus yang satu. Namun, dalam kehidupan praktis motivasi itu tak mudah dijalankan. Ada banyak lika-liku dan warna-warni perasaan yang berlainan, ada selera yang berbeda dan ada segala hal yang khas milik pribadi.

            Lantas, apakah komunitas religius menyimpan paradoks di dalam rumahnya? Saya merefleksikan: "Perbedaan bukanlah faktor konflik tetapi konflik dapat terjadi di antara perbedaan". Konflik dapat muncul di tengah perbedaan ketika salah satu sisi tak mampu menerima sisi yang lain. Jangankan dalam komunitas, dalam diri sendiri pun dapat terjadi konflik jika pribadi yang bersangkutan tak mampu menerima dirinya sendiri.

 Komunitas tanpa konflik bukanlah komunitas sejati karena komunikasi di dalam sebuah komunitas memang pasti diwarnai penerimaan dan penolakan. Artinya jika komunitas tidak memiliki pertentangan di dalamnya, komunitas itu belum memiliki dinamika komunikasi yang utuh. Komunitas itu hanya memiliki komunikasi pada level "hanya sekadar tahu nama". Komunitas religius tanpa konflik adalah komunitas tanpa relasi anggota yang berani mengungkapkan kelebihan sekaligus kekurangan saudaranya.

            Konflik dapat meruntuhkan home komunitas religius ketika komposisi pertentangan yang ada melebihi penerimaan. Pertentangan mendominasi komunikasi para anggota. Konflik ini menjadi masalah yang tak dapat ditawar-tawar ketika ia berhasil menempatkan para anggota komunitas religius menjadi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia yang lain). Para anggota komunitas religius keluar dari rasionalitas dan dasar cintakasih. Konflik ini membuat para anggota komunitas religius menjadi "tidak memiliki rumah". Ungkapan ini menyingkapkan keadaan mendasar sekaligus menyedihkan, yaitu tidak memiliki sense of belonging, tidak mempunyai tempat dimana dijumpai rasa aman, diperhatikan, dilindungi dan dicintai.

            Pada titik ini terungkaplah bahwa betah atau tidaknya orang menempati sebuah rumah tidak lagi ditentukan oleh seberapa mewah bangunan fisiknya, seberapa memadai fasilitas yang ada dan seberapa luas lingkungan yang dipunya. Esensi rasa betah itu ditentunkan oleh seberapa berkualitas komunikasi yang ada, seberapa dalam relasi para penghuninya, seberapa jauh mereka mampu menerima saudaranya dan seberapa kokoh mereka membangun persaudaraan sekalupun berbeda.

            Para anggota komunitas religius dipanggil untuk dipersatukan dalam Kristus. Mereka dipersatukan dalam keanekaragaman, sama seperti Yesus yang memanggil para rasul dari berbagai latar belakang. Perbedaan yang ada adalah kodrat dan tak dapat ditolak. Jika ditolak, komunitas hanya akan menjadi milik satu golongan saja. Karena itu, dibutuhkan mata dan telinga baru untuk memahami makna kesatuan; kesatuan yang tak dapat ditangkap oleh hati yang rapuh. Hanya hati yang penuh kasih yang mampu menyelami kesatuan. Di tengah perbedaan itulah para angota komunitas religius berusaha mewujudkan kasih kepada Dia yang mereka kasihi melalui usaha mengasihi saudara-saudaranya. Kardinal Francis Xavier Nguyen menulis dalam bukunya The Road of Hope: "Cinta kepada sesama adalah ujian yang terpercaya mengenai cintamu kepada Allah".

            Home bukanlah suatu prestasi atau pencapaian yang dapat dinikmati melainkan sebuah usaha yang diperjuangkan terus-menerus serjauh para anggotanya mengaku ingin tinggal bersama. Standar mendasar dari home adalah ketika dijumpai komunikasi yang didasari kasih. Kasih itu merangkul mereka yang berdiri di tengah perbedaan. Sekali lagi, Kardinal Nguyen menatakan: "Hidup dalam persaudaraan sekaligus sebagai tes dan dukungan bagi semangat cintakasih. Pohon-pohon di hutan menopang satu sama lain agar tidak tumbang ketika angin topan datang menyerang". Para anggota komunitas religius dipanggil untuk saling menguatkan, saling membangun, saling melindungi dan saling menolong menghaapi tantangan dalam perjalanan hiup panggilan mereka masing-masing.

            Komunitas religius sejati membangun home dengan pondasi tiang-tiang kasih para anggotanya. Tiang-tiang itu dirumuskan oleh Santo Paulus: "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu" (1 Kor 13:4). Komunitas religius yang mampu menegakan tiang-tiang ini adalah komunitas religius yang berhasil membuktikan bahwa rumah paradoks hanyalah ilusi.

Daftar Bacaan:

  • Nouwen, Henri J. M., Tanda-Tanda Kehidupan, Yogyakarta: Kanisuus, 1988.
  • Thuan, Francis Xavier Nguyen Van, Jalan Pengharapan, Jakarta: Obor, 2004.
  • Hadjon, P. Kallix S., SVD, Persaudaraan di dalam Komunitas Religius: Konperensi dan Renungan, Flores: Novisiat SVD Ledalero, 1984.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun