Mohon tunggu...
Deni Humaedi
Deni Humaedi Mohon Tunggu... -

sekarang bergiat di kelompok studi Balai Merdeka Institute yang fokus pada tema-tema filsafat politik, sosial, budaya, dan sastra. Juga bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hidup untuk Gagal

7 November 2011   16:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:57 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup Untuk Gagal

Seluruh manusia di jagad raya punya tujuan akhir hidup, yakni kesuksesan. Saya, Anda, ataupun siapapun, apapun profesinya tentu mencitakan kesuksesan. Hipotesa final itu sudah menjadi hukum baku yang jika ada prinsip hidup individu berkebalikan dengan hukum baku tersebut akan dianggap manusia gila. Atau kasarnya manusia sinting. Bahkan mungkin ia tak dianggap lagi sebagai seorang manusia. Dan ia tak pantas untuk hidup di bumi.

Sebagai seorang manusia, saya menginginkan kesuksesan dalam segala hal. Untuk mewujudkan kesuksesan itu, saya kerahkan energi sampai batas maksimal. Strategi dan rencana saya tulis di buku agenda. Dan di halaman terakhir sengaja saya tulis dengan huruf besar dan pena besar pula; HIDUP UNTUK SUKSES.

Namun, apa yang terjadi dengan hidup saya, kawan?. Strategi dan rencana yang saya tata tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Semuanya gagal total. Saya coba untuk merenungkan semua penyebab kegagalan itu. Ternyata jawabannya tak terletak di situ.

“carilah sesuatu sampai ke relung-relung terdalam”. Demikian kalimat dari seorang kawan yang tiba-tiba melintas dalam benak saya. Dan ternyata persoalan penyebab kegagalan saya adalah mentalitas.

Mentalitas yang terbentuk dalam diri saya dengan sendirinya berbuah kegagalan. Frase “Hidup untuk sukses” diam-diam melarut, masuk, dan memengaruhi mentalitas berpikir saya. Frase yang tersusun dari tiga kata itu sudah, secara tak langsung, saya anggap sebagai sebuah kebenaran mutlak namun menjadikan saya lupa akan hal-hal apa saja yang tiba-tiba akan menghambat jalan dan rencana. Saya menjadi pribadi yang hanya memikirkan kesenangan saja tanpa menimbang kekecewaan yang bakal menghadang. Saya menjadi diri yang lupa bagaimana hidup itu ada kesusahan disamping kebahagiaan. Singkatnya, prinsip “hidup untuk sukses” tak mempunyai pengaruh baik untuk diri saya.

Maka, dengan keyakinan yang menggunung saya ubah prinsip “hidup untuk sukses” menjadi “hidup untuk gagal”. Sebuah logika frase terbalik dari frase sebelumnya. Barangkali Anda tak setuju dengan frase itu. Tak masalah bagi saya. Tapi seyogyanya Anda jangan terburu-buru menghakimi bahwa saya adalah seorang anomali, abnormal, tak punya tujuan, atau mungkin tak punya vitalitas hidup.

Gagasan “hidup untuk gagal” bukanlah sebuah pilihan dalam konteks ini melainkan sebuah dorongan untuk menggerakan daya vitalitas ke arah hidup yang dicitakan. Ia juga bukan sebuah dogma atau teori praktis untuk langkah taktis dalam menggapai kebahagiaan. Ia hanya semacam daya dobrak psikologis bagi mentalitas semu.

Jika dalam prinsip “hidup untuk sukses” kita diajarkan agar melihat dunia secara parsial dan kaku, maka dalam prinsip “hidup untuk gagal” kita diajak untuk melihat potret aneka kehidupan, kecemasan, kegalauan, kegagalan, dan hal-hal yang absurd.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah prinsip ini takut menjalani kehidupan jika yang dipandang hal-hal yang absurd melulu? apakah prinsip ini tak mempunyai makna tentang kesuksesan atau keberhasilan?

Prinsip “hidup untuk gagal”, seperti yang sudah dijelaskan di atas, adalah melihat dunia apa adanya. Ia mengamini fakta-fakta yang ada di dalam kehidupan. Namun, dalam memandang fakta-fakta yang terhampar tersebut, ia tak hendak lari menuju dunia lain. Ada keberanian besar yang melekat dalam dirinya untuk menghadapi dunia.

Bagi prinsip “hidup untuk gagal”, persoalan keberhasilan atau kesuksesan adalah soal lain yang tak harus “diburu” terburu-buru. Yang terpenting, bagi prinsip ini, adalah memahami makna kegagalan terlebih dahulu. Karena dengan memulai pemaknaan ini kita seolah-olah diberi kekuatan dalam memandang fakta-fakta kehidupan.

Dengan kata lain, kita semakin diajak untuk memaknai dan memahami sebuah proses untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan. Tanpa disadari langsung prinsip ini akan membentuk mentalitas kita ke arah yang lebih mapan.

So, prinsip “hidup untuk gagal” hendak mengajak kita untuk mengingatkan satu sama lain bahwa hidup terlalu indah untuk dilewatkan. Mari menjalani hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun