Dalam sejarah, kontroversi tentang seorang tokoh adalah hal yang lazim. Pertama, karena manusia pada dasarnya makhluk yang kompleks: berlaku baik di satu waktu dan bertindak sebaliknya di waktu yang lain. Kedua, adanya pihak-pihak tertentu yang secara konvensi (legal-saintifik) disepakati untuk melakukan penilaian. Ketiga, adanya publik yang secara subjektif merasa berhak pula melakukan penilaian.
Seperti kata Sukarno kepada Cindy Adams: 'Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa.' Sukarno adalah contoh paling nyata protagonis sekaligus antagonis dalam sejarah. Jasanya yang terbesar tentu saja selaku pejuang dan proklamator kemerdekaan Indonesia: keluar masuk penjara, diasingkan, menulis dan berbicara secara publik, memimpin organisasi politik, hingga menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Setelah hanya menjadi simbol selama revolusi fisik dan era demokrasi liberal, Sukarno mengambil momentum politiknya lewat Dekrit Presiden 1959. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 pamornya merosot dan kuasa politiknya diambil alih Orde Baru sejak 1966. Â
Bahwa ia menyukai wanita dan beristri banyak, bukan itu yang membuat Sukarno menjadi antagonis, melainkan konsepsi Nasakomnya yang secara konsisten ia hasung sejak muda. Simpati dan kedekatannya dengan PKI menyulut sejumlah pemberontakan dan gaya kepemimpinannya membuatnya beberapa kali mengalami percobaan pembunuhan: 1957, 1960 (2 kali), 1962 (2 kali) dan 1964. Dalam kasus Sukarno, orang tetap menganggapnya sebagai pahlawan. Namanya diabadikan sebagai gelanggang olahraga dan bersama Hatta menjadi nama bandar udara internasional.
Kontroversi serupa terjadi pula pada Suharto, Presiden RI kedua. Meski sudah diusulkan sejumlah tokoh menjadi pahlawan nasional, publik belum bisa melupakan 'dosa politik' Suharto yang memicu reformasi 1998. Sebelum lengser, Suharto sudah berusaha memantapkan sosoknya sebagai protagonis lewat kampanye sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta dan selaku protagonis penumpasan G30SPKI. Namun takdir sejarah berkata lain. Jasa besarnya di bidang pembangunan dibayang-bayangi otoriterisme militer di masanya ditambah kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Sukarno pernah disanjung-sanjung dengan sebutan 'Paduka Pemimpin Besar Revolusi' sedang Suharto digelari 'Bapak Pembangunan'. Namun kekuasaan kedua presiden itu berakhir tragis. Awalnya mereka adalah protagonis, namun berakhir sebagai antagonis. Setelah beberapa dekade berlalu, publik yang lupa mulai mengagumi kembali sosok Sukarno dan merindukan kembali zaman Suharto.
Sederet kasus bisa ditambahkan. Yang agak baru adalah kontroversi kepahlawanan Sultan Hamid Algadrie. Sejarawan Anhar Gonggong yang mengetuai Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pahlawan di Kementrian Sosial RI menolak status kepahlawanan Sultan Hamid Algadrie dengan alasan Hamid menerima kenaikan pangkat kemiliteran Kerajaan Belanda di tahun 1946. Hamid bahkan diangkat menjadi ajudan khusus Ratu Wilhelmina saat Republik Indonesia sedang 'dikerjain' Belanda (https://www.youtube.com/watch?v=zGXGcpFaZY8). Anhar juga menolak jasa Hamid selaku pelukis sketsa lambang negara. Menurutnya versi yang dibuat Hamid diperbaiki oleh seniman Dullah atas perintah Sukarno.
Sementara itu Ridwan Saidi (almarhum) berpendapat bahwa pada 1946 wilayah de jure Republik Indonesia masih meliputi Jawa dan Sumatera saja, Borneo belum termasuk. Ia menampik keras tuduhan Hendropriyono bahwa Hamid adalah pengkhianat. Hamid memang ditahan tiga kali: di zaman Jepang, zaman Demokrasi Liberal (1953-1956) dan Orde Lama (1962-1966). Di tahun 1953 Hamid didakwa hendak melakukan kudeta bersama APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) Westerling, namun  tuduhan itu tidak terbukti. (https://www.youtube.com/watch?v=ugTNgui5oE8)
Ridwan yang pernah bergaul rapat dengan T.B. Simatupang, A.H. Nasution, Mohammad Roem, Hatta dan Natsir mengaku belum pernah mendengar tokoh-tokoh itu berkata buruk tentang Sultan Hamid (https://www.youtube.com/watch?v=W4RzAKEZWW8).
Sebagaimana diketahui, usulan status kepahlawanan Sultan Hamid sudah diajukan sejak 2016 oleh perwakilan masyarakat Kalimantan Barat namun hingga sekarang usulan itu masih belum dikabulkan.
Kalau individu bisa menjadi protagonis dan antagonis dalam satu rentetan waktu, demikian pula kelompok sosial. Â Kita hanya dituntut bersikap adil dan objektif terhadap peran dan fakta kesejarahan yang sahih.