Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Misi Pelajaran Sejarah di Sekolah

6 Juli 2024   08:19 Diperbarui: 6 Juli 2024   08:24 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.pexels.com 

Pada tahun 2000-an banyak tokoh Angkatan 45 yang wafat. Artinya, sejak itu sudah tidak ada lagi 'saksi hidup' perjuangan kemerdekaan yang bisa dilihat generasi muda. Yang tersisa sekarang adalah para pelaku sejarah dari Angkatan 1966 (yang sudah lanjut usia) dan Angkatan 1998 (era reformasi).

Angkatan 1998 (termasuk penulis) mungkin merupakan generasi terakhir yang paling banyak menerima warisan pengalaman Angkatan 45 lewat pendidikan sejarah di sekolah-sekolah.

Pelajaran sejarah yang dipandang membosankan itu ternyata punya misi penting: mewariskan nilai, semangat sekaligus pengalaman para pelaku sejarah dalam berjuang dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lewat sejarah, generasi muda diharapkan punya pengetahuan, kepahaman rasional dan emosional tentang betapa negara dan bangsa ini didirikan dengan susah payah oleh para pendahulu kita. Tugas mereka adalah mensyukuri kemerdekaan itu dengan mengisinya dengan karya-karya yang berguna-- yang di zaman Orde Baru masyhur dengan sebutan 'pembangunan'. Selaku umat muslim, tentu saja karya dan pembangunan itu harus dilandaskan pada keikhlasan (niat beribadah) dan keinginan memberi manfaat sebanyak-banyak pada orang lain (khairunnaasi anfauhum linnaas).

Kebutaan sejarah membuat generasi muda tidak memiliki kecintaan terhadap umat dan bangsanya. Mereka hidup dalam wawasan kekinian dan kedisinian, dalam artian negatif. Kesadaran akan identitas kolektifnya sebagai umat dan bangsa nyaris tiada.  Maka, tanpa kecintaan terhadap umat dan bangsa itu hilang pula kepedulian dan kecemburuan (ghirah) terhadap masalah-masalah sosial. Padahal setiap generasi dibebani tanggung jawab kolektif masing-masing (laha ma kasabat wa lakum ma kasabtum). Mengabaikan tanggung jawab kolektif itu bisa berarti kufur nikmat. Akibatnya, nikmat berupa negeri yang makmur, stabilitas dan keutuhan negara dan bangsa Indonesia bisa saja dicabut oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Nas'alullaha as-salamah.

Agar generasi muda memiliki kesadaran akan identitas kolektifnya -sebagai bagian dari umat Islam dan bangsa Indonesia- mereka perlu memahami setidaknya tiga aspek:  (1) geografi NKRI; (2) etnografi orang Indonesia dan (3) sejarah umat dan bangsa.

Penyebutan 'umat' sebelum 'bangsa' bertujuan agar tahapannya runtut. Berbuat sesuatu bagi umat Islam sudah otomatis berkontribusi pula kepada bangsa, karena umat Islam adalah bagian terbesar (mayoritas) dari bangsa Indonesia.

Generasi muda harus dibuat kagum terhadap sejarah bangsanya, juga figur-figur historis yang berperan di panggung sejarah. Banyak tokoh bangsa dengan talenta luar biasa, budi pekerti yang luhur, intelegensia yang tinggi dan sikap kepahlawanan yang mengagumkan. Mendekatkan generasi muda kepada sosok-sosok pahlawan ini akan membuat sejarah sebagai subjek yang mengasyikkan. Selain menyandang kelebihan-kelebihan di atas, para tokoh teladan ini juga memiliki kelemahan dan ketakutan-ketakutan selaku manusia. Sejarah dengan demikian perlu dihadirkan sebagai perkisahan yang manusiawi. Dengan biografi kita bercermin selaku pribadi dan dengan sejarah kita mengambil pelajaran dari pengalaman kolektif.

Ketidaktahuan mereka terhadap para tokoh sejarah - juga peristiwa-peristiwa besar kemanusiaan yang menyertainya: perang, rapat umum, kerusuhan, perlawanan di medan gagasan dan pemikiran -membuat mereka meremehkan pelajaran sejarah dan nilai pentingnya.

Dahulu dan mungkin juga sekarang, tidak ada upaya yang berarti untuk membuat pelajaran sejarah itu menjadi menarik. Jangankan siswa, gurunya saja sudah enggan mengajarkan. Pelajaran sejarah identik dengan mengerjakan latihan atau membuat ringkasan. Di era Orde Baru, guru sejarah masuk kelas hanya satu dua kali dalam satu semester. Peran guru sejarah lebih sebagai penghantar cerita dan pesan-pesan sponsor (penguasa), bukan motivator apalagi inspirator. Sehingga, misi pemerintah untuk mendekatkan generasi muda dengan sejarah perjuangan bangsanya bisa dibilang gagal.

Untuk memantik nalar kritis dan kreatifitas, sejarah  hendaknya dikaitkan dengan isu-isu aktual yang relevan. Yang paling mudah lewat paralelisme sejarah. Kemampuan menulis para guru sejarah harus ditingkatkan. Karena, seperti kata Carl L Becker, sejarah itu diciptakan sejarawan. Artinya rekonstruksi sejarah lewat historiografi dilakukan dengan retorika sejarawan, lewat pemilihan diksi dan gaya bahasa sejarawan. Membaca tulisan-tulisan Sartono Kartodirjo seperti berjalan-jalan di taman ilmu-ilmu sosial, sedangkan membaca tulisan-tulisan Kuntowijoyo tidak membosankan karena Kunto juga adalah sastrawan dan budayawan. Onghokham lebih sederhana, sedangkan tulisan Taufik Abdullah terkesan banyak gaya karena banyak memakai tanda petik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun