Atmosfer 'perusahaan' di lembaga pendidikan ditandai dengan adanya 'politik di tempat kerja'. Hirarki dan aturan yang kaku, pendisiplinan, pengedepanan sanksi dan otoritas daripada empati dan rasa kemanusiaan. Lawan dari atmosfer perusahaan adalah atmosfer kekeluargaan.Â
Selaku penganut sunnah, relasi yang terbangun antara sesama pekerja, atasan dan bawahan, sudah semestinya dilandaskan pada kesamaan manhaj, ilmu dan adab. Namun perlu ada political will khususnya dari pimpinan lembaga untuk menghidupkan iklim kekeluargaan itu.Â
Apalagi jika kesejahteraan belum tercapai, guru dan pegawai bisa memperoleh kebahagiaan dari saluran yang lain, dari kenyamanan berukhuwah dan kebersamaan selaku keluarga.Â
Dalam lembaga berciri kekeluargaan masalah selalu bisa dibicarakan dan dirembuk bersama-sama. Toleransi yang besar dan kesetaraan menjadi ciri yang lain. Kelemahan hidup  berkomunitas/berkeluarga salah satunya adalah pergosipan yang lazim lantaran terlalu peduli.
Dengan atau Tanpa Standar
Secara filosofis, standar pendidikan itu diperlukan. Standar itu harus cukup umum dan berterima namun tetap bisa dijadikan tolok ukur. Standar kompetensi lulusan (SKL) semua lembaga pendidikan sunnah misalnya harus mencintai Allah dan Rasul-Nya (akidah), mempraktikkan sunnah (ibadah), berakhlak luhur dan bermanfaat secara sosial. Setiap SKL ditunjang standar proses dan standar asesmen yang bersesuaian. Â
Standar proses dan standar asesmen adab dan akhlak perlu disusun secara lebih teliti dan tepat sasaran. Melakukan studi banding pada model-model pendidikan lain semacam kuttab, sekolah alam, sekolah adab, sentra, montessori, pendidikan karakter nabawiyah dan lain-lain tetap diperlukan agar penyusunan standar tersebut didukung oleh wawasan yang kaya sekaligus lentur.Â
Kekhasan lembaga pendidikan pada tahfizh Al-Quran, sanad kitab, keterampilan membaca kitab, keterampilan berbahasa Arab, keterampilan teknologi informasi (IT), keputrian dan lain-lain bisa ditambahkan sebagai standar kompetensi tambahan atau standar kompetensi spesifik tersendiri.
Hingga saat ini, tidak ada standar dan panduan akreditasi umum yang bisa digunakan sebagai referensi dan benchmark bagi sekolah-sekolah sunnah yang baru bertumbuh.Â
Nyaris semua lembaga sibuk dengan dirinya masing-masing. Juga ada kesenjangan wawasan teoretis dan standar pendidikan antara lembaga-lembaga di Jabodetabek dengan yang ada di daerah-daerah. Kondisi ini berbeda dengan JSIT (Jaringan Sekolah Islam Terpadu) yang sudah punya standar akreditasi tersendiri sejak lama.
Selain standar-standar akreditasi, pernah ada wacana menyusun kurikulum sekolah sunnah yang bisa digunakan sebagai percontohan di lingkup nasional. Namun hingga hari ini niatan itu belum kunjung terealisasi.