Demikian disampaikan Syaikh Samir Yusuf Al-Hakaly dalam acara Daurah Metode Mulazamah yang dilangsungkan 28 April-6 Mei 2023 di Masjid Ali bin Abi Thalib, Jatikramat, Bekasi. Semoga hal itu bisa terjadi 10 tahun mendatang, ungkap beliau. Pasalnya, Indonesia memiliki sarana yang lengkap. Banyak dermawan yang mau menyumbangkan hartanya untuk pendidikan. Ketahuilah bahwa Ma'had Syaikh Muqbil bin Hadi di Dammaj, Yaman, jauh lebih kecil ukurannya dibanding Ma'had ini (Ta'limy Ali bin Abi Thalib) akan tetapi mampu melahirkan ulama-ulama  kelas dunia.
Negara yang besar dan barakah ini, masih mengutip ucapan beliau secara makna, mestinya bisa melahirkan ulama sekelas Ibn Utsaimin atau Bin Baz yang pandangan-pandangannya memengaruhi dunia Islam. Hanya saja dibutuhkan 'sedikit' perubahan dalam metode pembelajaran.
Dalam daurah bertajuk 'Al-Waajibat Lil Muallim' itu (5-6 Mei 2023) Syaikh memaparkan bahwa ketidakberhasilan proses pendidikan disebabkan tiadanya keseragaman metode dalam satu lembaga pendidikan. Terlalu banyak 'thuruqat' yang berbeda dan terlalu banyak mata pelajaran yang diberikan kepada peserta didik dalam satu waktu. Pendidik harus fokus mengajar satu macam mata pelajaran, kemudian setelah selesai baru berpindah ke pelajaran atau kitab yang lain. Materi hendaknya jangan terlalu banyak sehingga mudah dipahami dan mudah dihafalkan. Syaikh mengingatkan sunnah Rasul dalam berucap yaitu perlahan dalam menyampaikan, terdengar (lantang) dan diulang sebanyak tiga kali.
Salah satu metode yang kerap dilupakan para pengajar juga adalah metode tanya jawab. Seorang guru yang datang mengajar ke kelas, mengucap salam kemudian berceramah, kemudian pergi usai ceramahnya adalah miah bil miah khata' (seratus persen keliru), kata beliau. Pembelajaran bukanlah milik pengajar melainkan milik bersama antara pengajar dan peserta didik. Karena itu, ciri-ciri pengajar yang baik adalah menghidupkan tanya jawab. Dia bertanya dan dijawab (yas'al wa yujab) dan ditanya kemudian menjawab (yus'al wa yujib). Ini adalah sunnah Rasul pula.
Pengajar dan pendidik harus menjadi orang yang rabbani yaitu ia mempelajari dan menguasai terlebih dahulu pelajaran yang ia ajarkan. Kemudian ia harus mengajarkan ilmu yang ia kuasai tersebut. Tidak boleh seorang guru mengajarkan ilmu yang belum ia pelajari dan kuasai. Sebaliknya ia harus mau mengajar dan berbagi ilmu yang ada padanya.
Seorang guru yang rabbani sebagaimana definisi Ibnu Abbas juga memulai dengan mengajarkan ilmu yang paling sederhana sebelum yang rumit, mengajarkan yang terpenting dari yang penting.
Masalah metode belajar ini sangat esensial. Jika rusak metode pembelajaran maka rusaklah umat ini. Kemajuan suatu umat (peradaban) bisa dilihat dari kemajuan dunia ilmu dan perhatian mereka terhadap metode pembelajaran. Hal itu dimulai dengan perbaikan kondisi para guru.
Para pelajar harus dibekali keterampilan mengajar sehingga selepas tamat pendidikan ia bisa mengajarkan ilmu yang dipelajarinya. Dengan cara ini manfaat ilmu makin terasa dan tersebar.
Dalam metode mulazamah yang dikembangkan  Syaikh Samir  peserta didik dibekali keterampilan untuk mengajar. Setelah memiliki pengalaman mengajar peserta didik yang sama harus bisa menjadi pengawas (musyrif) guru. Setelah menjadi pengawas levelnya naik menjadi muraakib (semacam super-intendent atau leader yang mengawasi para pengawas). Pada level tertinggi adalah muttabi' yakni syaikh yang dipandang paling berilmu dan berpengalaman.  Jadi levelnya bertingkat dari thalib menjadi muallim kemudian musyrif kemudian  muraakib dan terakhir muttabi.
Keberadaan seorang alim yang dituakan merupakan kondisi yang mutlak harus ada dalam penumbuhan akhlak dan adab. Para murid akan meniru dan berteladan pada akhlak syaikhnya. Demikianlah secara bertahap para thullab (pelajar) akan memantaskan adab dan akhlaknya ketika ditunjuk sebagai muallim. Dalam mulazamah tasyji' (pujian, apresiasi dan motivasi) merupakan kelaziman dalam penguatan mentalitas peserta didik, pengajar dan seluruh komponen pendukung sistem mulazamah.