Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Literer

20 Mei 2022   20:11 Diperbarui: 4 Juli 2024   10:49 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tradisi ilmiah dimulai dari sekolah. Sebelum menjejakkan kaki di perguruan tinggi --jenjang dimana seseorang betul-betul mengerahkan segenap potensi kognitif dan intelektualitanya- peserta didik hakikatnya adalah penuntut ilmu yang sudah dibekali adab dan ilmu dari pendidikan dasar dan menengah.

Jika segala sesuatunya berjalan normal, peserta didik yang kini menyandang nama 'mahasiswa' adalah sosok yang matang dari segi sikap ilmiah -- siap bertumbuh, belajar, berkompetisi, berdiskusi, membawakan wacana, menentang wacana, menyusun argumentasi, dan berpikir layaknya cendekiawan muda.

Seharusnya dia lulus dari suatu sekolah literer: sekolah yang membekali peserta didik dengan kebiasaan mengolah data lewat kepenulisan, lewat karya tulis ilmiah. Dengan itu kematangan intelektualnya makin terasah di perguruan tinggi.

Kebiasaan mengolah data dan menyusun karya tulis itu juga diharapkan membuat peserta didik secara inheren punya imunitas dan integritas: tidak mudah percaya atas informasi yang berkembang, betapapun sensasionalnya, mau mengkonfirmasi kebenaran informasi (tabayyun), menjauhi prasangka, tidak gampang terhasut berita bohong, tidak suka memicu konflik dan mengacaukan relasi antar-manusia yang pada dasarnya majemuk.

Sayangnya, sekolah literer ini masih tergolong langka. Sekolah kurang memberi cukup perhatian dalam hal pengadaan buku-buku dan perpustakaan. Pemerintah menggalakkan pentingnya literasi dan menyalurkan dana bantuan dengan juklak di antaranya membelanjakan sekian persen dana untuk pengadaan buku. Namun di lapangan kadang terjadi penyelewengan.

Sekolah lebih memilih melakukan renovasi dan menambah fasilitas gedung, fasilitas olahraga, IT dan kegiatan seni--yang untuk sebagiannya bisa dibenarkan guna menyalurkan bakat peserta didik. Hanya saja ada persoalan: bagaimana dengan kompetensi utama peserta didik? Seberapa besar perhatian (dan anggaran) sekolah dialokasikan untuk menunjang pembekalan ilmu lewat literasi perserta didik? Selaku lembaga transfer ilmu pengetahuan, sudah seharusnya sarana-sarana ilmu pengetahuan itu diperbanyak. 

Agak memprihatinkan bahwa di era cybergogy seperti sekarang ini, gadget belum dimanfaatkan secara optimal. Peserta didik menyikapi internet sebagai sarana bermain, bersosialisasi dan mencari hiburan.  Andai tertanam suatu kebiasaan belajar yang positif, kebiasaan belajar yang tumbuh inside-out pada diri peserta didik niscaya mereka memandang internet itu sebagai sumber ilmu dan gudang ilmu.

Sekolah literer hanya menjadi fasilitator bagi pembelajaran swakarsa para peserta didik via cybergogy: untuk kepentingan sains dan penelitian dan kepentingan belajar usaha (digipreneurship). Jadi pengadaan perpustakaan dan buku-buku cetak bisa juga diganti dengan perpustakaan digital.

Mayoritas peserta didik sekarang tidak diragukan lagi lebih menikmati menonton daripada membaca. Guru harus pandai membuat peserta didik penasaran terhadap suatu bahan bacaan. Misalnya dengan memuji-muji buku-buku tertentu beserta faidahnya.

Sastra (literary) yang berisi cerita (fiksi atau kisah nyata) merupakan gerbang pertama peserta didik untuk memasuki dunia bacaan. Meski ada perbincangan masalah hukum di kalangan ulama perihal cerita fiksi ini, pada hemat saya tidak mengapa peserta didik membaca karya fiksi atau karya sastra. Karena karya sastra meskipun pada dasarnya 'rekaan' (dusta) akan tetapi mengambil bahan-bahannya dari kenyataan.  Si penulis menangkap perasaan-perasaan, cara berpikir, watak, psikologi, adat istiadat, latar daerah, sejarah, sebagai bahan bagi karya fiksinya. Tambahan lagi, pada dasarnya manusia sangat menyukai cerita.

Menurut Ustadz Aris Munandar, membaca karya fiksi dibolehkan sebatas hiburan bukan untuk berdalil. Dasarnya adalah hadis "Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa." (Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud dan lain-lain). Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, "Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik". Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini dinilai sahih oleh Al Albani. (https://ustadzaris.com/haramkah-cerita-fiksi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun