A’udzu bika min syarri maa shana’tu.
Selanjutnya si hamba beristi’adzah atau meminta perlindungan dari keburukan amal perbuatannya sendiri. Ia sadar bahwa perbuatannya bisa berakibat buruk terhadap dirinya sendiri. Dan tidak ada yang sanggup memberi perlindungan dari akibat buruk itu selain Allah, Tuhannya.
Perbuatan manusia  bisa mengakibatkan terjadinya keburukan di dunia dan di akhirat. Baik perbuatan itu disengaja atau tidak disengaja. Bahkan perbuatan yang lahirnya baik ternyata bisa saja berakibat buruk di belakangan hari, lantaran nalar dan pengetahuan manusia yang terbatas.
Atau suatu perbuatan disangka si hamba sebagai kebaikan ternyata di mata Allah hakikatnya adalah keburukan yang berimbal balik keburukan pula di dunia dan/atau di akhirat. Untuk inilah si hamba memohon perlindungan kepada Allah agar tidak terkena balasan atau musibah yang menyengsarakan.
Padahal saat berbuat itu ia berada dalam ikatan janji dengan Tuhannya. Namun lantaran kelemahan hati dan akalnya, serta bawaan tabiatnya yang lalim dan bodoh, maka si hamba berkecendrungan melanggar ikatan janji tersebut.
Abu’u laka bi ni’matika alayya.
Aku mengakui kenikmatan yang Kau berikan kepadaku.
Pengakuan selanjutnya adalah pengakuan akan nikmat yang begitu banyak, yang belum sempat disyukuri bahkan mustahil disyukuri seluruhnya, lantaran terlalu banyak.
Mustahil membalas nikmat yang diberikan Allah, lantaran nikmat Allah itu tak terhingga. Bagaimana pula membalas sesuatu yang jumlahnya tak terhingga? Darimana modalnya?
Kalau bersyukur dimaknai sebagai tha’atul mun’im (menaati sang Pemberi Nikmat), seberapa murni dan mulus ketaatan itu? Pasti ketaatan itu penuh cacat dan kekurangan di sana sini.
Karenanya, pengakuan atas nikmat Allah itu saja sudah yang paling minim harus dilakukan.