Foto by: Timur Weber, www.pexels.com
'Orsu!', katanya sambil tergelak.
Supir taksi tengah baya itu masih mengantar kami berputar-putar menghindari jalan raya yang padat, sambil terus nyerocos tentang ini dan itu. Alasannya ingin menghindari kemacetan, meski sebenarnya kami curiga ini dia lakukan agar argometer taksinya berkedip-kedip lebih lama.
Bicaranya kami tafsirkan sebagai bagian dari keramahan, campur-campur komentar miring dan gunjingan.
Barusan dia menertawakan pekuburan orang-orang susah saat melintas Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut.
Rupanya segregasi berdasarkan miskin-kaya masih berlanjut ke pekuburan. Dan stereotyping bagi orang susah itu berlanjut setelah mati: dipandang sebelah mata dan direndahkan, bahkan oleh supir taksi.
Padahal pak supir sendiri sudah tergolong paruh baya dan memasuki lansia. Barangkali tak lama lagi ia sendiri menyusul masuk ke liang kubur. Bila demikian, di manakah dia bakal dikubur? Di lokasi kubur orang kaya atau lokasi orang susah?
(Pada pertengahan tahun 2021, data dari Dinas Pertamanan dan Kehutanan DKI Jakarta menunjukkan bahwa 68 dari 82 Taman Pemakaman Umum yang ada di Jakarta memiliki tingkat keterisian di atas 95%, bahkan 100%. Mayit harus ditanam bertumpuk bahkan sampai tumpuk 4. Satu liang bisa berisi 3 atau 4 nama)Â
***
Ragam pilihan itu hanya tersedia bagi orang-orang kaya. Orang fakir tidak punya banyak pilihan. Mereka harus memanfaatkan pilihan yang ada, seoptimal mungkin, dengan sepenuh rasa syukur.
Melihat ke bawah, kepada mereka yang nasibnya lebih susah merupakan kiat utama guna memelihara dan menikmati rasa syukur itu.