Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buku yang Ada Kata 'Seni' pada Judulnya

18 Juli 2020   21:08 Diperbarui: 20 Maret 2022   06:02 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan ini muncul buku-buku yang judulnya dimulai dengan kata 'seni' umpamanya saja 'seni untuk bersikap masa bodoh', 'seni hidup minimalis', 'seni berdamai dengan diri sendiri', 'seni menerima diri apa adanya', dan seterusnya. Apakah ini penanda bahwa seni sudah tidak lagi pinggiran? Tulisan-tulisan yang menyoal seni umumnya bernada keprihatinan. Seni tidak lebih penting dari politik, kecuali jika seni itu memprovokasi, baru ia dianggap gawat. Selama membahas rembulan, atau teori yang mengada-ngada biarkanlah para seniman itu ngoceh semau-maunya.

Lumayan runyam kalau harus membahas definisi seni secara ilmiah dari awal mulanya. Misalnya saja tulisan Jim Supangkat di majalah Visual Art Vol.6 No.32 Agustus September 2009 yang menyinggung infrastruktur seni dunia dan menyoal istilah seni dan seni rupa yang rupanya merupakan terjemahan yang sama dari kata 'art' dalam bahasa Inggris. Karena tulisan ini tak lebih dari sekedar esai ringan maka uraian itu tidak akan diulang dan hanya persepsi-persepsi saya selaku masyarakat awam yang akan dibahas di sini.

Pertama, yang terbayang dari kata seni adalah ketidakteraturan. Tiadanya pola yang ajeg karena improvisasi boleh dilakukan kapan pun dan dimana pun. Persepsi bawah sadar yang sejatinya klasik --mungkin juga usang-  terpantul dalam performa fisik seniman yang boleh berambut gondrong, berkumis dan berjenggot,  berpakaian seadanya, kalau ngomong ceplas-ceplos, eksentrik, bertato dan pemabuk.  Di Indonesia contoh paling nyata dalam hal ini adalah Bob Sick. Kalau di Eropa orang mengenal Salvador Dali yang bukan main aneh baik lukisan maupun tingkah lakunya.

Kedua, persepsi awam tentang seni berkaitan dengan lika-liku dan tarik ulur. Frasa 'lika-liku' masih ada kaitannya dengan 'ketidakteraturan' atau dinamika, atau perubahan yang sifatnya acak tadi. Bagaikan roda berputar, kadang di atas kadang di bawah. Tarik ulur. Jadi kata penunjuk waktunya adalah 'kadang'. Nah yang 'kadang ' itu kalau durasinya lama maka disebut 'sering' kalau sebentar atau sedikit disebut 'jarang'. Umpamanya seniman itu kadang kaya kadang melarat. Seringnya melarat, tetapi kemelaratan itu dikaitkan dengan seni, karena itu bagian dari dinamika hidup. Hidup yang terlalu gampang juga tidak menarik buat seniman. Adapun contoh seniman yang kaya adalah Putu Wijaya, Taufik Ismail atau Setiawan Jody.  Cerita sedih tentang kemiskinan Danarto di akhir hayatnya semoga menjadi pelajaran bahwa manajemen dan bisnis itu penting buat seniman.

Ketiga, seni itu ada yang elit dan ada yang massa. Ada seni serius ada seni pop. Ada jazz ada dangdut.  Banyak yang mau mendobrak dualisme itu di Amerika yang sering disebut adalah Andy Warhol, sedangkan di Indonesia sini misalnya ada Seno Gumira Ajidarma yang ogah memisah karya sastra serius dengan karya sastra pop.

Keempat dan ini yang terpokok, seni itu menyangkut keindahan. Jadi mungkin maksud para penulis atau penerjemah buku-buku di atas memakai kata 'seni' dalam judul buku mereka adalah bahwa ada teknik atau cara tertentu yang indah dan manis  dalam menangani suatu masalah. Seni tidak mesti seni melukis atau memahat tetapi juga seni bergaul, seni bercinta, seni memasak, seni menjual, seni berbicara di depan umum dan lain sebagainya.

Erich Fromm punya buku berjudul Art of Loving. Pasti yang dimaksud di situ adalah tarik ulur dalam membina hubungan, kadang begini, kadang begitu, cara-cara yang indah, bisa jadi berpola atau tidak berpola, yang penuh improvisasi lagi sangat halus dan peka.

Dalam telisik Jim Supangkat memang tidak ada latar etnik di belakang kata 'seni' itu. Ia berasal dari bahasa Melayu yang juga mengandung arti lain yakni 'halus' dan 'kecil'.  Maka membuang air seni dipandang satu makna dengan membuang air kecil. Sedangkan buang hajat disamakan maknanya  dengan membuang air besar. Karena 'hajat' itu menyangkut kepentingan yang besar-besar.

Kapan waktu saya mau beli satu buku yang ada kata 'seni' pada judulnya. Di masa wabah begini memang perlu hidup minimalis, bersikap masa bodoh dan berdamai dengan keadaan, dan diri sendiri. 

Tentunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun