Mohon tunggu...
Deny Giovanno Hasdanil
Deny Giovanno Hasdanil Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Makara Merah 2010 | Kader Himpunan Mahasiswa Islam | Sosial Demokrasi | Si Vis Pacem Para Bellum

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fasisme, Mesir, dan Demokrasi

1 Mei 2014   23:36 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:58 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A fascist is one whose lust for money or power is combined with such an intensity of intolerance toward those of other races, parties, classes, religions, cultures, regions or nations as to make him ruthless in his use of deceit or violence to attain his ends.”

Henry A. Wallace (Wakil Presiden Amerika Serikat ke-33)

Fasisme sebagai sebuah ideologi politik mengalami perkembangan yang cukup pesat dari semenjak pertama kali diperkenalkan ke dunia pasca Perang Dunia I hingga hari ini. Kejatuhan rezim Adolf Hitler di Jerman dan Benito Mussolini di Italia pada pertengahan abad ke 20 dianggap sebagai kematian daripada ideologi ini. Namun, pada kenyataannya, paham ini berhasil beradaptasi dengan peradaban yang terbentuk hari ini, menjadi satu kesatuan dengan hati para pencinta penindasan di muka bumi.

Jejak-jejak berdarah para fasis di bumi ini dengan mudah dapat kita temukan dalam dokumen-dokumen sejarah dunia. Ibu pertiwi menjadi saksi nyata bagaimana pertumpahan darah yang didalangi dan dilakoni oleh para fasis terhadap golongan manusia yang mereka anggap sebagai minoritas atau membahayakan kepentingan ekonomi dan politik mereka.

Hari ini, para fasis merubah pola gerakan mereka yang semula bergerak secara terang-terangan menjadi pergerakan yang menggunakan berbagai kedok untuk melegitimasi hal-hal keji yang mereka lakukan. Berbagai alasan mereka kemukakan untuk dijadikan sebagai kedok, mulai dari stabilitas politik hingga kemurnian ajaran suatu agama.

Praktek-praktek fasisme model baru ini kembali harus kita saksikan, kali ini praktek ini terjadi di negara Mesir. Belum begitu lama terdengar di telinga kita bahwa Pengadilan Mesir telah menjatuhkan vonis hukuman mati kepada sejumlah 683 anggota Partai Ikhwanul Muslimin. Partai tersebut merupakan partai asal dari mantan presiden Mesir yang digulingkan oleh militer dan sekaligus presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis melalui pemilihan umum yaitu Mohammad Morsi.

Apapun alasannya, pembunuhan yang dilakukan terhadap seseorang karena ideologi yang dianutnya tidaklah dapat dibenarkan dalam situasi apapun. Penafsiran tunggal yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa mengenai definisi ‘membahayakan’ dari sebuah ideologi ini kemudian oleh para elit-elit politik dan birokrat fasis dijadikan sebagai senjata utama untuk memusnahkan musuh politiknya.

Bercermin dari kondisi di Mesir, bahaya praktek fasisme laten juga secara perlahan menggerogoti bangsa kita. Begitu banyak kekerasan terjadi di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan atas nama pemurnian ajaran agama dan yang lebih menyedihkan adalah tindakan kekerasan itu seakan-akan dimaklumkan oleh masyarakat sipil dan aparat penegak hukum. Mayoritas dari para pelaku kekerasan terhadap golongan minoritas tersebut tidak mendapatkan tindakan tegas dari para aparat penegak hukum, seakan-akan golongan minoritas tersebut bukanlah manusia yang hak-haknya juga harus dibela.

Momentum pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang akan datang menjadi momen untuk menentukan sikap apakah kita akan membiarkan fasisme-fasisme model baru ini merajalela di antara masyarakat ataukah kita akan memotong rantai fasisme tersebut. Suara yang kita berikan nantinya akan menentukan nasib semboyan bangsa kita ke depan, pilihlah calon presiden dan wakil presiden yang pro terhadap penegakkan hak asasi manusia serta kontra terhadap fasisme. Apakah nantinya Indonesia akan bernasib sama dengan Mesir? Dimana semua orang harus berpendapat sama dengan Penguasa? Itu semua tergantung pilihan Anda!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun