Mohon tunggu...
Denu Munandar
Denu Munandar Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Ku termenung dalam kegelisahan seakan terkejar oleh terpaan angin yang menusuk dada. Diam bukan berarti kalah tapi berpikir merupakan jawaban masa depan jika kau menatap langit indah yang memudar. Kau akan tau semua tak ada yang abadi, yang bersahabat bisa menjadi lawan yang paliing kau benci. Dimana tidak ada yang kau percayai selain dirimu, jika kau sendiri pejamkan mata maka semua mungkin tak menghilang. Tapi itu lebih baik dari pada kau gelisah, sedih dan terjebak dalam sepi, seharusnya kau bersyukur itu hanya terjadi padamu. Tidak seperti yang terjebak didalam ruangan kecil sepi, berdebu dan hanya ditemani semut, laba – laba dan kecoa yang seakan mengajakku berbicara. Meskipun ku tak mengerti, mungkin itu kunci kesunyian ku yang ku kejar seakan tak sampai, dan membuka bersama melihat keatas dunia. Dan mengatakan padaku “semua tlah berubah, yang kau katakan padaku benar, memejamkan mata seakan selesai tapi itu kunci menuju awal”. “Dan ku kemari untuk menunjukan kunci itu kepadamu seperti kau melakukannya padaku”. Aku bingung apa benar ?, tapi aku juga percaya aku tidak sendiri, buktinya semua berlari meninggalkan ku. Tak seperti diriku, jiwaku yang tetap menempel meski di terpa angin dan tau bahwa ini bukan tempat yang terbaik. Tapi banyak jalan menuju surga, meski pedih itu lebih baik dari pada kau menyesal diakhir dan tertawa diawal. Hah…. dengan begitu semua akan kembali kepada sang pencipta yang menentukan. Aku bukanlah seorang yang mengerti bahasa isyarat, tapi batinku selalu berkata tak semua isyarat patut didengar. Dan lebih baik mendengar tenangnya lagu alam seperti angin yang berdesir, hujan rintik – rintik dan ombak bergulung. Itu akan menenangkan pikiran, bahwa masih bersama alam, yang meski kadang kurang bersahabat. Percayalah mereka juga punya kata hati, seperti mereka mendengar kita dan memasok kebutuhan kita Manusia punya nafsu, mereka ingin senang secara praktis sesuai perkembangan tapi tak mau tau keadaan sekitar. Menua, sakit dan ingin sekali didengarkan tapi kau berpaling dan bilang semua akan baik – baik saja jika kita berdoa. Apalah artinya doa, jika yang berkata tidak pernah berdoa & berusaha, apakah ia lebih baik dari kita?. Berpikirlah ke depan dan kebelakang, kita melakukan awalan dan akan berakhir, maka bukalah hati untuk sekitar sebelum kiamat datang Karena kita semua harus saling mengerti bahwa semua sudah diatur dalam rintihan alam. Yang menua serta melihat keajaiban sejarah sebelum kita, jadi ingatlah bahwa yang diam bukan berarti saksi bisu, yang diam jika kau menenangkannya. Tapi kau harus mengerti apa arti dari diciptakannya semua ini dan juga semua yang kalian ciptakan dengan keringat. Maka kau bisa melihat masa depanmu yang cerah, secerah mentari tersenyum melihat ketika kau terlahir ke dunia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hitam Putih Abad 20

18 Februari 2012   15:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:29 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

tiupan angin pesisir dan deru ombak mengheningkan suasana..
taburan bintang diangkasa menyempurnakan malam yang kian larut..
alunan irama jazz, berbatang-batang nikotin, dan sebotol bir adalah surga yang bisa ku raih..
sang dewi malam hadir bersamaku tuk menikmati malam..
hmm.. hanya surga ini yang bisa ku raih..
kutinggalkan semua permainan yang memenjarakan kebenaran dan kejujuran..
ku bosan mendengar jeritan rakyat miskin..
ku bosan mendengarkan kebohongan pejabat..
ku bosan mendengar kisah petualangan para penjahat..
ku bosan mendengar suara nafsu yang selalu mengajakku menjelajahi jalan menuju neraka..
ku diam..
ku menangis..
ku berteriak, "Tuhan...? Tuhan...? Tuhan...?"
nuraniku sakit..
ku takut..
ku takut..
ku benar-benar takut..
ku takut ku akan menjadi pecundang sejati jika ku tak ikut permainan ini..
tapi ku takut surga tak mau menerimaku jika ku menjadi pemain ini..
maaf Tuhan..
ku masih bodoh tuk mengerti hitam putih abad 20

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun