Suatu ketika aku buka laptop istriku. Ketika ku jelajahi folder demi folder serta file, aku temukan sebuah kisah ini. Diary. Lebih tepatnya begitu. Begini isinya....
Suamiku, Seorang Guru Terhebat
29 November 2013 di samping sajadah cintaNya.
Bismillah..
Hi, diary. Lama sekali aku tidak menjamahmu. Dua bulan. Lama juga ya. Kini, jemariku ingin menjamahmu setelah ku lantunkan ayat-ayat cinta kepada Sang Penguasa Hati ini. Pikiranku melayang jauh mengenang sesosok lelaki yang telah mendampingi hari-hariku empat tahun ini. Ku arahkan pandangku sejenak pada lelaki itu. Terbaring di atas kasur. Sekitar empat langkah dari arahku bergelut dengan pena ini. Tertidur pulas. Baju koko putih dipadukan dengan sarung biru kotak masih melekat di tubuhnya. Aku tak tega membangunkannya. Setelah menjadi imamku tadi dan melantunkan ayat cintaNya, dia langsung berbaring.
Sesekali mataku masih memandang wajahnya nan tampan. Tampan? Tentu saja. Dia kan suamiku. Hehe.. Dedi. Lengkapnya Dedi Arifianto. Itu lelaki tampan yang berhasil mengisi relung hati ini.
Tiba-tiba air mata ini jatuh ke kertas diary ini. Pikiranku menerawang perjalanan hidup ini bersama suami tercinta.
Diary, dulu kamu menjadi saksi betapa suamiku telah menjelma menjadi panutan dalam hidup ini. Suamiku seorang guru sekolah dasar di salah satu sekolah di Kecamatan Godean. Satu kecamatan denganku mengajar, tapi berbeda sekolah. Aku jadi teringat empat tahun silam.
Mei 2009
Setelah lulus kuliah PGSD di UNS Kampus Kebumen, aku mendaftar ke salah satu sekolah dasar di Kebumen untuk menjadi GTT. Guru Tidak Terdeteksi, hehe.. Kebumen itu sekitar sembilan puluh kilometer dari Jogja ke arah barat. Kota kecil, tetapi menjadi sebuah awal yang besar dalam perjalanan hidupku. Nah, ketika aku mengabdi jadi GTT itulah aku bertemu dengan makhluk asing. Tinggi, putih. Mirip artis korea gitu deh. Dia ternyata guru juga. Dan GTT juga. Wah, ini orang kok ga pantas jadi guru ya. Batinku berkata saat itu. Pantasnya jadi model atau dokter!! Hihi ...
Ya Robb, ternyata memang benar. Kata orang jawa, tresno soko kulina. Cinta datang karena terbiasa. Ya, rasa itu tumbuh dengan sendirinya. Kepada siapa lagi kalau bukan si Dedi. Lima bulan aku disitu, kami sudah mulai saling mengenal, meskipun itu lewat hp. Ngobrol berdua di sekolah agak sungkan saja, karena ga enak sama anak-anak. Meskipun lewat hp, kami sudah merasa ada kecocokan.
Yang aku suka dari dia. Agama dia kuat. Walaupun dia anak seorang penjual bakso keliling, tapi dia selalu jamaah ke masjid. Itu yang sulit aku temui pada pemuda sekarang ini. Ayahnya penjual bakso, tetapi dikenal juga seorang muadzin. Subuh selalu disambut dengan suaranya.
Tepat di awal November 2009, Dedi menyatakan padaku melalui telepon.
“Aku ingin menjadi imam bagimu. Imam dalam setiap detik dan setiap kedipan mata ini. Kalau kamu bersedia, minggu depan aku akan datang ke rumahmu bersama ayah ibukku”
Duarrrr.... Kaget saat itu aku mendengarnya. Kaget karena dia juga termasuk lelaki pemalu untuk masalah cinta. Kaget karena dia sama sekali belum pernah datang ke rumahku. Dia bukan lelaki yang mudah suka pada wanita. Memang, kami sudah saling mengenal. Sudah saling mendukung ketika ada yang terjatuh, meskipun melalui sebuah pesan. Tetapi kata-kata dia membuatku terdiam seribu bahasa.
Dengan gugup aku hanya mengucapkan: “datanglah, aku tunggu.
Ya Robb, ternyata ujian mulai datang. Aku bercerita pada salah satu teman guru di sekolahku. Bukan dukungan yang aku dapat, tetapi malah menyarankan aku untuk berpikir ulang tentang ajakan Dedi menikah. Masih ingat sekali ketika itu temanku berkata: “Lia, kamu kan tahu kalau Dedi dari keluarga tidak mampu. Ayahnya saja hanya penjual bakso keliling. Rumahnya kecil. Seperti bumi dan langit jika dibandingkan dengan kondisi keluargamu. Sawah keluargamu terhampar, rumah besar. Menantu-menantu dari ayahmu sukses semua....dan bla..bla.bla...”. Aku tidak mau melanjutkan kata-kata temanku di diary ini. Air mataku semakin jatuh.
“Ya Robb, jika memang dia jodohku, maka dekatkanlah kami ya Allah. Jika memang dia bukan calon imam yang baik untukku, maka jauhkanlah. Aku tidak memandang calon imamku dari kekayaan ya Robb, meskipun dia keluarga tidak mampu, tetapi aku yakin dia mampu menjadi imamku ya Robb. Aku tidak pernah sekali pun meragukan kuasaMu Sang Penguasa Hati, maka berikanlah jawaban yang indah untukku”
Doa yang aku pinta terjawab sudah pada 28 Desember 2009. Menikah. Ya, sejak hari itu aku ditakdirkan menjadi istri dari seorang lelaki yang sekarang sedang tertidur pulas. Belum terbangun. Dua puluh menit lagi sholat isya. Pena ini terus aku gerakkan untuk lanjutkan air mata ini yang sudah terlanjur jatuh.
Diary, ternyata memang benar. Jika kita menyerahkan sepenuhnya kepada Sang Pencipta, pasti akan diberikan yang terbaik menurutNya. Dua minggu setelah kami menikah, alhamdulillah suamiku diterima CPNS di Kabupaten Sleman melalui formasi umum. Aku juga ikut tes, tapi belum diterima. Itulah satu jawaban indah dariNya. Akhirnya mulai bulan Januari 2010, aku dan suamiku pindah ke Jogja. Kota yang istimewa. Hmmm.. masih teringat, ketika pertama kali di Jogja, kami hidup di kontrakan kecil di daerah Godean. Satu kamar tidur. Kamar mandi dalam. Bertolak belakang dengan rumahku di Kebumen. Dalam hati aku ingin menangis, apakah aku kuat mendampingi suami di tempat kecil seperti ini. Suamiku menatapku dan menyandarkan kepalaku di dadanya.
“Umi, percayalah pada Allah, kita mulai rumah tangga ini lillahi ta’ala. Abi akan selalu menjaga umi. Kita berjuang dulu ya mi, meski kita hidup di kontrakan kecil ini, tapi yakinlah suatu saat kita bisa lebih baik dari ini.”
Perasaanku sedikit tenang. Pagi pertama di kontrakan, tercium wangi teh kesukaanku. Ha? Suamiku yang membuatkannnya. Sepiring nasi dan tempe juga sudah tersaji. Aku menangis. Aku malu. Kudengar suara gemericik air dari kamar mandi. Suamiku sedang menguras bak kamar mandi. Dua bulan aku jalani pagi seperti itu. Kadang aku ingin menangis, tetapi suamiku selalu berkata, nanti suatu saat pasti kamu bisa masak dan lain-lain! Begitu sabarnya suamiku. Ya Robb, terima kasih telah engkau hadirkan dia dalam hidup ini.
Bulan keenam kami pindah kontrakan, mencari yang agak luas. Alhamdulillah dapat. Nah, di tempat inilah menjadi awal titik balik kami. Salah satu hal yang suami ajarkan kepadaku: “berbuat baiklah kepada semua, tidak usah mengharap balasan!”. Singkat. Tapi sulit melaksanakan.
Ya Robb, pasti semua ini jalanMu. Sore hari setelah mengajar di sekolah, suamiku merintis bimbingan belajar di rumah. Ruang tamu kami gunakan untuk memberikan ilmu pada anak didik kami. Karena program studi yang dulu kami ambil sama, aku bisa membantu suami mengajar les di rumah. Yang tidak bisa aku lupakan dari suamiku, dia mengatakan kepadaku bahwa tidak ada tarif les. Suamiku membebaskan anak didik. Bayar ya boleh. Tidak bayar juga boleh. Hatiku saat itu memberontak, kita cape-cape ngeles anak, tapi ga dibayar!!
Itulah kekuasaan Allah. Suamiku melengkapi kekurangan sikapku. Dia menyadarkanku bahwa lakukan sesuatu dengan ikhlas, biar Allah yang membalasnya.
Ternyata benar, tahun kedua kami membuka les, suamiku lolos sertifikasi guru! Murid les kami mencapai lima puluh anak! Subhanallah, ya Allah. Begitu indahnya Engkau mengingatkanku melalui suamiku. Laki-laki yang begitu mencintai anak-anak, rela memberikan ilmu tanpa memandang rupiah. Laki-laki yang telah mendidik aku yang tadinya tidak terlalu mengerti kehidupan.
Dan kini, Engkau telah berikan kami tempat berteduh yang permanen. Rumah sendiri!! Trimakasih ya Allah, terimakasih suamiku. Guru terhebatku!
Yach, tidak terasa melodi adzan Isya memanggil. Ku kecup kening suamiku. Terbangun. Terima kasih tiada terkira ya Robb!
---oleh Amalia Ningsih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H