Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Terima Kasih Mahkamah Konstitusi

23 April 2024   20:54 Diperbarui: 23 April 2024   22:11 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

 Perseteruan hasil pemilu telah usai. Mahkamah Konstitusi sebagai institusi yang berwenang memutuskan sengketa pemilu telah menunaikan kewajibannya. Sesuai pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan hadil pemilu. Apapun keputusan MK tentu tidak memuaskan semua pihak. Apa lagi jika pihak-pihak yang berperkara memiliki kepentingan politik. 

Meskipun tujuan dari semua pihak adalah mewujudkan demokrasi yang lebih baik dalam setiap perhelatan pemilu. Sidang perkara MK yang ditayangkan live dibeberapa stasion televisi dan memberikan dampak positif kepada warga negara dalam konteks pendidikan politik. Setidaknya sengketa pemilu kali ini memberikan gambaran bagaimana struktur hukum kita menyediakan tempat bagi semua pihak untuk andil dalam menyuarakan kepentingan politiknya. Selama sidang sengketa pemilu, kita akhirnya disadarkan dengan berbagai argumentasi yang disampaiakan oleh berbagai pengacara dan saksi dalam persidangan. 

Setiap argumentasi dari berbagai pihak patut kita beri apresiasi karena itu adalah bagian dari semangat demokrasi dan kecintaan kepada bangsa ini. Dalam sidang MK tahun 2024 ini terdapat sembilan (9) hakim yang nantinya akan memutuskan sengketa pemilu. Kesembilan hakim tersebut diketuai oleh Suhartoyo. Terdapat hal menarik yang disampaiakn oleh salah satu hakim MK yaitu Saldi Isra yang mengatakan bahwa mahkamah konstitusi bukanlah "keranjang sampah" untuk menyelesaikan semua masalah yang berkaitan dengan pemilu di Indonesia. MK tentu bukanlah keranjang sampah bagi segala bentuk kepentingan politik praktis. Marwah MK akan terlihat ketika institusi ini membuka ruang obyektif dalam memutuskan segala perkara sengketa pemilu. 

Meskipun sejarah Mahkahmah Konstitusi kita tidak lepas dari bercak-bercak masalah integritas hakim-hakim MK. Kita teringat ketika ketua MK Akil Mochtar yang ketahuan menerima suap Rp 57,78 miliar dan 500.000 dollar AS (antikorupsi.org.id). Suap tersebut terkait pengurusan 15 sengketa pilkada. Saat itu Akil dijerat berlapis dengan dua regulasi, yaitu tindak pidana korupsi dan pencucian uang. 

Sedangkan yang terbaru dan menyita perhatian publik adalah kasus Anwar Usman yang melanggar kode etik. Kasus ini lebih tertuju kepada instrumen nepotisme dalam pemutusan batas usia calon wakil presiden. Semakin heboh terjadi dikarenakan Anwar Usman sebagai ketua MK adalah Paman dari Gibran yang notabenenya adalah calon wakil presiden yang nantinya akan mendampingi Prabowo. Prinsipnya secara filosofi Mahkamah Kontitusi adalah institusi buatan manusia yang tentu tidak luput dari kesalahan. 

Baik yang dilakukan secara personal maupun secara terstruktur melalui institusi. Dalam analisa konseptual malapraktik yang sering terjadi dalam lingkup pemerintah, selalu dibagi kedalam dua perspektif. Pertama soal struktur dimana malapraktik dalam sebuah institusi disokong dengan kuatnya sistem serta regulasi yang memungkinkan terjadinya bias kepentingan dalam pemutusan dan pengambilan sebuah kebijakan. Kedua adalah aparat yang tentu memiliki andil dalam menumpuk berbagai pelanggaran atas nama sebuah institusi. Apa lagi kita ketahui bahwa dalam konteks hari ini, hampir setiap individu memiliki kepentingan dan bisa saja bias dengan tekanan politik yang begitu masif. 

Dalam kasus sengketa pemilu 2024 kali ini, sembilan hakim MK secara otonomi tidak mengusulkan diri untuk menjadi hakim. Setiap hakim itu diusulkan oleh berbagai lembaga negara (mkri.id). Seperti Dr. Suhartoyo diusulkan oleh Mahkamah Agung, Prof. Saldi Isra diusulkan Presiden, Prof Anwar Usman oleh Mahkamah Agung, Prof Arief Hidayat oleh DPR, Prof Enny oleh Presiden, Dr. Daniel Yusmic oleh Presiden, Prof Guntur Hamzah oleh DPR, Dr. Ridwan Mansyur Oleh Mahkamah Agung, dan Dr. Arsul Sani oleh DPR. Komposisi ini menunjukan bahwa lembaga yang memisahkan kekuasaan seperti konsep dari Monstequieu yaitu Eksekutif, legislatif, dan Yudikatif memilki senjatanya masing-masing dalam menentukan Hakim MK. Bisa saja keputusan hakim MK akan bias oleh berbagai kepentingan dari pengusungnya masing-masing. Tidak ada yang mustahil dalam dalam konteks politik dan hukum. Apapun pertimbangan politik kita, keputusan MK itu find and binding yaitu terakhir dan mengikat pemberlakukannya. Setelah MK memutuskan sebuah perkara, tidak ada lagi upaya hukum lain yang lebih tinggi dari MK. 

Sengketa pemilu tahun 2024 sudah usai. MK menolak seluruh permohonan perselisihan hasil pemilu (PHPU) atau sengketa pilpres 2024, baik yang diajukan oleh kubu Anis-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud. Sehingga tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan atau ditempuh dan dengan putusan Mk ini dipastikan Prabowo-Gibran menjadi pememnang Pilpres 2024. Sebagai pemohon, Anis-Muhaimin dan Ganjar Mahfud sudah mengucapkan selamat kepada Prabowo -- Gibran. Ungkapan tersebut disampaikan ganjar pasca putusan Mk dan ketika keluar dari ruangan sidang. 

Sedangkan Anis-Muhaimin menyampaikan ucapan selamat setelah bertemu dengan ketua partai yang mengusung mereka. Meskipun pada level elite sudah saling mengucapkan selamat, tetapi di level akar rumput gelombang protes masih terjadi pasca putusan MK. Padahal kedewasaan pollitik kita harus menghargai putusan MK yang telah ditetapkan. Memang segala keputusan tidak selalu memuaskan setiap orang. Itu terlihat juga ketika terdapat dissenting opinion atau berbeda pendapat diantara hakim MK. Meskipun begitu, dissenting opinion tidak berarti mengugurkan keputusan majelis hakim yang memutuskan menolak secara keseluruhan gugatan para pemohon. Apapun polemik yang mewarnai sengketa pilpres kali ini, selayaknya kita "mengangkat topi" kepada setiap hakim MK. Mereka sadar bahwa MK tidak selalu sempurna dengan berbagai malapraktik yang mewarnai perjalan MK untuk mengawal konstitusi dan demokrasi kita. Selalu ada cacat dan retak akibat dari berbagai perselisihan yang dilandaskan kepada berbagai kepentingan politik baik yang terstruktur atau pragmatis. 

Beban psikologis yang begitu berat ditambah lagi tekanan dari berbagai pihak baik itu dari level elite ataupun masyarakat, tentu memberikan dampak tersendiri kepada hakim-hakim Mk untuk memutuskan putusan yang obyektif. Kalau dibilang adil tentu tidak akan adil bagi semua orang. Tetapi dengan berbagai keterbatasannya, hakim MK harus memutuskan perkara ini agar Presiden dan Wakil Presiden selanjutnya akan bisa dilantik. Jika masalah ini dibiarkan berlarut-larut, justru akan mengakibatkan dampak yang lebih luas dan keselamatan warga negara akan menajdi taruhannya. 

Tentu tidak semua elite puas dengan putusan hakim MK. Terlihat ketika PDI-P pasca putusan Mahkamah Konstitusi, akan melanjutkan gugatan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Melalui Sekretaris Jendral Hasto Krisyanto, PDI-P tetap akan terus menegakan demokrasi dengan berbagai upaya perjuangan (kompas.com). Keputusan politik PDI-P tetap dihormati sebagai bagian dari demokratisasi yang terus bertumbuh. Demokrasi kita tidak boleh tertumpuk hanya kepada beberapa elite atau institusi tertentu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun