Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menjadi Politis

25 Maret 2024   09:24 Diperbarui: 25 Maret 2024   09:30 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"MENJADI POLITIS"

Tidak bisa dipungkiri kalau kehidupan kita dipengaruhi juga oleh keputusan politik. Keputusan-keputusan itu diambil dalam upaya untuk meloloskan suatu hal. Biasanya keputusan politik itu didorong oleh kelompok atau kebutuhan individu. Ada yang represif, demokratis, bahkan anarkis. Tetapi itulah keputusan politik. Selalu saja ada korban dan ketidakadilan. Keputusan politik juga bisa berangkat dari rasionalisme, tetapi juga bisa karena pragmatisme. Meskipun begitu, keputusan politik adalah keputusan yang memang harus diambil dalam kondisi tertentu.  Dalam negara demokrastis, keputusan politik di ambil dengan rentang waktu cukup lama. Karena harus mengakomodasi berbagai kepentingan. Bisa dari pengusaha, pemerintah, rakyat, atau bahkan orang-orang dalam lingkaran kekuasaan. Tetapi di negara totaliter, keputusan cepat karena perundingan dicukupkan. Dialektika dan diskursus di kantongan dalam pribadi-pribadi. Penguasa mengambil penuh wilayah pembuatan keputusan ini. Meskipun terkesan tidak adil, tetapi itu faktanya. Kita tidak bisa memaksakan pemahaman demokratis kepada sebuah negara totaliter.

Aristoteles pernah mengungkapkan istilah "Zoon Politicon". Zoon artinya hewan dan politicon artinya bermasyarakat. Atau bisa dikaitkan benang merahnya menjadi manusia adalah hewan yang bermasyarakat. Dalam kaca mata tertentu, memang manusia tidak jauh berbeda dari hewan. Kita bertumbuh dan berkembang, begitupun hewan atau tumbuh-tumbuhan. Bedanya kita diberikan akal dan budi untuk memahami mana yang seharusnya dan yang tidak seharusnya. Eksistensi sebagai makhluk unggul di planet ini memungkinkan manusia menjadi musuh utama makhluk hidup lain. Perburuan hewan, membakar hutan untuk pabrik, membuang sampah di laut, dan banyak hal lain yang dikategorikan sebagai merusak ekosistem alam. Atas nama kebutuhan manusia, kita akhirnya melegalkan segala hal untuk berkuasa atas kehidupan lain. Meskipun terdapat aturan yang melarang hal itu, tapi secara naluria manusia adalah jiwa yang bebas. Bahkan terlalu bebasnya, aturan itu dilanggar. Bahkan Thomas Hobbes pernah mengatakan istilah Homo Homini Lopus yang artinya manusia adalah serigala untuk manusia lainya. Dalam kondisi tertentu sifat "serigala" manusia bisa ditunjukan untuk mempertahankan diri atau menyerang pihak lain. Setidaknya selalu begitu sebagai satu siklus hidup.

Politis bisa jadi sifat kritis yang sabar tapi penuh amarah. Amarah kepada ketidakadilan tentunya. Sepertinya politis dan amarah adalah koin satu arah yang memang selalu ada. Gesekannya perlu untuk mengelitik penguasa agar tidak sewenang-wenang. Agar suara itu didengar, kita butuh politikus. Tentu sekalian dengan setiap sampah yang telah dimakan di selokan pada malam hari. Diskusinya bisa memuaskan tetapi bisa juga meninggalkan bauh menyengat karena kesimpulannya hanya menguntungkan segelintir orang. Tikus yang sebelumnya ada diselokan telah menjelma menjadi raja kecil dengan kekuasaan yang hampir tidak terbatas. Batasannya hanyalah ide untuk menipu rakyat. Karena menipu bukan pekerjaan gampang dan kita yakin hanya orang-orang pilihan yang mampu melakukan itu. Awam tidak bisa dan jangan memaksakan diri untuk menjadi seperti itu. Bukan bagian kita.

Oligarki merepresentasikan bahwa lumut selalu menempel di kapal demokrasi. Kekecewaan terhadap oligarki bukan terletak kepada keterbukaan demokrasi kepada hal jahat sekalipun, melainkan oligarki selalu pintar memainkan peran memanfaatkan alat negara. Oligarki selalu datang dari para politisi dewasa dengan berbagai kepentingan. Kepentingan untuk keluarga, pengaruh, dan kepentingan akan sumber daya finansial. Manusia politis tidak bisa lepas dari pengaruh oligarki. Bahkan oligarki menjamin karir politikus untuk tetap ekses sebagai wakil rakyat. Bisa di parlemen atau di eksekutif.  Susah memisahkan antar keterampilan politis dan paksaan oligarki. Bahkan iming-iming untuk anti oligarki bagi politisi sulit dilakukan dalam kontek masyarakat yang masih terikat pada tirani mayoritas. Perlu diingat bahwa, politisi tidak hanya mereka yang ikut kontestasi elektoral lalu menjadi aktor legislatif maupun eksekutif. Kita sendiri adalah politisi karena para politisi yang menjabat datang dari pilihan kita. Tentu pilihan kita didasarkan pada latar belakang yang begitu kompleks. Ada memilih karena kenalan, memilih karena uang, memilih karena kesamaan ideologis. Saat kita memutuskan pilihan politik kita, kita sendiri menjadi politisi. Sehingga sebenarnya kita juga bisa terjebak dalam dogma-dogma oligarki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun