Cara pandang linear ini tumbuh dan hidup dalam dimensi logis sosial yang sering disebut sebagai Culture. Kultur (Culture) dalam beberapa praktek keliru ditafsirkan.Â
Semakin tinggi kapasitas kultur sebuah masyarakat, semakin tinggi juga keadaan fanatisme radikalnya. Dimana keadaan tersebut membuat manusia cenderung akan bertindak diluar norma yang sebenarnya telah disepakati bersama. Meskipun norma tersebut masih dalam level lisan. Kemampuan lisan ini memang menjadi cikal bakal sebuah masyarakat terbentuk.Â
Tidak hanya itu, kemampuan lisan itu menjadi alasan logis sebuah tatanan sosial mulai dibentuk. Manusia mengatur tatanan dengan menggunakan metode lisan. Salah satu indikator yang membentuk kuatnya metode lisan ini adalah kepercayaan (believe).Â
Hal ini sekarang menjadi perhatian khusus. Sebab manusia sudah mulai menipiskan udara kepercayaannya kepada sesama. Bahkan ironisnya lagi, kepada dirinya sendiri.
Dalam matematika dikenal sebuah istilah yang biasa disebut dengan Prinsip Transpalasi. Transpalasi dapat dijelaskan 2+3=5 sama halanya dengan 3+2=5. Dapat disimpulkan bahwa, meskipun caranya berbeda tetapi hasilnya tetap sama.Â
Masyarakat "Neo", bahkan zaman berburu dan bercocok tanam pun tetap menggunakan rumus yang sama. Menggunakan segala metode untuk bertahan hidup (survival).Â
Selebihnya untuk kesejahteraan dan kedamaian. Maka untuk memupuk semua hal yang sifatnya the common good, maka manusia perlu berinteraksi dan menimbah berbagai keterampilan dan pengetahuan. Dalam perjalanan itu peradaban perlahan dibentuk dan di historikan dalam berbagai kisah-kisah heroik dan penghianatan.
Terus terang, peradaban ini berada pada karpet perjuangan-perjuangan untuk mempertahankan eksistensi. Orang-orang yang kita anggap jahat di masa lalu, bisa saja mereka benar dalam konteks tertentu. Siapa sangka film Joker tahun 2019 yang di sutradarai oleh Tood Philips menorehkan sisi lain dari seorang Joker.Â
Ternyata perilaku "jahat" Joker disuplai juga oleh aktivitas sosial budaya yang memaksa eksistensinya semakin berantakan. Ironisnya selama beberapa dekade, Joker menjadi tokoh antagonis dan diasingkan secara sosial. Peristiwa ini memberikan refleksi mendalam tentang betapa kejamnya lingkungan sosial apa bila di isi oleh pribadi-pribadi dengan kepala anarkisme sosial.
Kegelapan tidak muncul dengan sendirinya, tetapi itu ciptaan yang bisa dengan sengaja di buat untuk dikapitalkan. Produksi ketakutan di satu sisi merupakan cara ampuh untuk meningkatkan otoritas penindasan.Â
Bisa dilakukan secara individu, oligarki, bahkan masyarakat. Rasionalisme menjadi catatan tidak tentu untuk terus diperdebatkan. Pelan-pelan menjadi tumpul karena ketakutan terus menerus dikapitalkan dan bahkan dikonsumsi tanpa ada proses filterisasi. Manusia menampakan topengnya menjadi "binatang politik" atau zoon politicon dalam bahasa Aristoteles.Â