Manusia perlu untuk mengendus berbagai ketidakadilan dan penciuman itu harus tajam. Di asah dan ditempa dengan keras agar menghasilkan manusia politik yang mampu menciptakan metode baru.Â
Langkah untuk keluar dari goa ketakutan mungkin bisa dimulai dari memahami kegelapan itu sendiri bahwa yang menciptakan the big darkness adalah malu untuk melangkah.Â
Rasionalisme mungkin merupakan anak emas pengetahuan. Tapi tidak cukup jika bumi hanya di isi rasionalisme tanpa ada sisi lain. Misalkan cinta, kasih sayang, rindu, kedamaian, air mata, pelukan, kehangatan, dan bahkan sentuhan.Â
Rasionalisme bukan menara gading dengan ketamakan dan kerakusan. Justru rasionalisme di ubah menjadi wajah untuk memahami satu dengan lainnya. Bukankah itu penting untuk tetap menata peradaban yang telah di bangun dengan darah dan keringat ini. Bukankah juga itu setimpal untuk menghargai homo sapiens ini yang terus berubah menjadi lebih baik.Â
Manusia bisa jatuh, bahkan berulang kali karena pemujaan rasionalisme, tetapi akan berubah karena rasionalisme itu. Rasionalisme seperti pinggiran koin yang terus menjaga titik equilibrium dengan putaran tanpa henti. Putaran dramatis itu tepat berada di telapak tangan manusia sebagai pemain dalam lakon peradaban manusia.
Rasionalisme mungkin salah satu metode menciptakan kesejahteraan. Manusia pasti butuh akal untuk menata tatanan sosial yang sejak awal berantakan. Sistem dibangun berdasarkan kebutuhan dan kemungkinan untuk di isi oleh individu yang mampu. Â Dalam konteks ini, tidak bisa dipandang sebagai bentuk penindasan.Â
Melainkan tatanan utuh untuk menciptakan keteraturan. Tatanan itu bisa disebut dengan komunitas, suku, bahkan negara dalam konteks hari ini. Manusia ada dan terjebak dalam sistem yang telah dibangun oelh manusia sendiri.Â
Pendidikan dengan stratanya, agama dengan stratanya, dan bahkan budaya dengan stratanya. Jelas bahwa ada klaim terselubung yang beranggapan tatanan tertentulah yang paling berpengaruh serta berkualitas untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia.Â
Hal ini merupakan titik awal di mana tatanan dalam bentuk apapun di ragukan legitimasinya. Krisis legitimasi bisa berdampak serius kepada eksistensi manusia sebagai obyek sekaligus subyek dari pemanfaatan tatanan sosial dalam mengatur perilaku bermasyarakat, bernegara, beragama, dan berbudaya.
Ketika tatanan didasarkan kepada rasionalisme, tirani bisa menjadi parasit untuk menguntungkan beberapa kalangan. Tirani menjadi penyakit berbahaya yang menyerang dari dalam sistem. Sulit ditebak dan bergerak dengan harus tanpa ada hambatan dan
tantangan. Sistem dan tatanan memang diperuntukan untuk menjamu kebutuhan-kebutuhan mayoritas. Tetapi dalam waktu tertentu bisa berubah menjadi serigala yang memangsa siapa saja tanpa pandang kerabat. Tocqueville (dalam David Thomson) menggunakan istilah 'tirani mayoritas'. Atas nama mayoritas manusia bisa bertindak apapun.Â