Fenomena pencucian uang 349 triliun sungguh mencanangkan dan menyita perhatian publik. Betapa tidak, ini melibatkan kementrian keuangan yang di pimpin Sri Mulyani. Anehnya kasus ini mencuat di tengah gembar-gembor penundaan pemilu 2024. Apa yang sebenarnya terjadi dengan sistem transaksi keuangan kita sehingga mudah untuk di kadali?. kita mulai dari arti sebenarnya Money Laundering. Money Laundering atau pencucian uang merupakan perbuatan untuk menyembunyikan asal-usul uang hasil kehajatan melalui transaksi keuangan, supaya uang tersebut seolah-olah berasal dari kegiatan legal. Sederhananya untuk memahami money laundry seperti kita memberikan bantuan gratis berupa uang kepada seseorang, padahal uang tersebut diperoleh dari aktivitas merampok, memeras, dan kejahatan lainnya.
        Praktek suap bukan hal baru bagi republik ini. Di berbagai negara, suap menyuap biasa terjadi sebagai syarat untuk memuluskan sebuah tujuan. Bahkan tempat yang kita anggap bersih sekalipun, pencucian uang bisa terjadi. Pada 2010 terjadi sebuah kasus pencucian uang yang melibatkan Wachovia salah satu Bank besar di Negeri Paman Sam dengan kelompok kartel narkoba dari Meksiko. Seorang ekonom Italia bernama Antonio Mario Costa pernah menyampaikan ketika krisis perbankan tahun 2008, banyak bank mendapat "investasi cair" dalam bentuk pinjaman kepada bank (Theguardian.com). Pinjaman itu di biayai dari aktivitas perdagangan Narkoba yang membuat bank itu dapat bertahan. Sama halnya dengan kasus Bank Wachovia pada tahun 2010 lalu.
Kasus ini memberikan gambaran bahwa uang tetaplah uang. Dimana pun uang itu berada bisa berpotensi dilakukan pencurian dan pencucian. Proses pencucian uang di bagi menjadi menjadi tiga, yaitu pertama placement merupakan metode dimana pelaku menyisipkan uang kotor kelembaga keuangan yang sah. Kedua, Layering dimana proses pengiriman uang dalam berbagai bentuk transaksi keuangan dan diubah wujudnya agar sulit untuk diikuti atau di lacak. Ketiga, integrasi merupakan tahap menyatukan semua uang kotor yang dilakukan dengan metode placement dan layering lalu dipergunakan untuk urusan legal.
Benang Kusut 349 Triliun
        Asumsi yang beredar bahwa total 349 Triliun itu adalah akumulasi transaksi keuangan ilegal sejak tahun 2009-2023. Transaksi keuangan ilegal ini, menurut UU No 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang menyebutkan di pasal 2 ayat 1 bahwa harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana terdiri dari korupsi, penyuapan, cukai, penggelapan dan lain sebagainya. Bisa saja pencucian uang yang terjadi sejak 2009 ini melibatkan beberapa aktivitas transaksi keuangan ilegal yang di larang oleh undang-undang. Tetapi belum begitu terang untuk mengetahui metode pencucian uang seperti apa yang di pakai oleh pelaku. Bisa saja penyuapan, penggelapan, penipuan, atau bahkan perjudian. Asumsi-asumsi itu bisa di buktikan kepada publik melalui kisah 349 Triliun. Tentu lakonya kita telah mengetahui dengan melibatkan komisi III DPR-RI, Kemenkeu, dan PPATK. Kita tunggu saja apakah benang kusut ini dapat terurai dengan baik, atau hanya isu belaka untuk menaikan dan menurunkan elektabilitas seseorang.
       Â
        Dalam pernyataanya di Rapat Dengar Pendapat (RDP), Mahfud MD menyampaikan bahwa tidak terdapat perbedaan data antara  Kemenkeu dan Komite TPPU seperti yang disampaikan DPR-RI (kompas.com). Sumber data transaksi keuangan mencurigakan ini berasal dari data LHA/LHP yang disodorkan oleh PPATK senilai lebih dari 349 Triliun. Fokus utama persoalan ini terletak kepada aparatur dalam instansi Kemenkeu yang terlibat dalam transaksi mencurigakan ini. Kasus ini menunjukan bahwa ASN dalam kementrian rentan untuk di sogok untuk melindungi pelaku-pelaku money laundry. Bahkan terdapat 348 pegawai Kemenkeu dari tahun 2009-2023 yang terlibat transaksi keuangan ilegal ini. Artinya kegiatan pencucian uang ini tidak semata-mata hanya berasal dari pelaku pencucian uang, tetapi juga didukung oleh lemahnya sistem imun aparatur yang mudah terserang sakit sogok dan suap.
        Tragedi suap menyuap menjadi bab rutin dalam pangku kekuasaan. Tak peduli ideologi apa yang dikumandangkan, uang tetaplah uang. Tak kenal ras, kepentingan politik, kaya atau miskin, uang adalah alat transaksi yang di dewakan di abad ini. Kebutuhan hidup yang meningkat setiap tahun menuntut beberapa kalangan memainkan uang sebagai modal transportasi kekuasaan. Entah dalam bentuk penggelapan aset, sogok aparat pemerintah, atau upaya untuk memenangkan seseorang dalam perhelatan pemilu. Semua butuh uang tinggal tergantung cara menggunakan dan sumber uang itu. Regulasi memang menuntut pembatasan penggunaan uang secara berlebihan, sehingga dapat tercipta kesetaraan di tengah masyarakat. Anehnya kalimat tadi hanyalah pajangan untuk pemain-pemain money laundry. Di era konsumtif seperti ini, memaksa kita memainkan banyak peran dalam memenuhi kebutuhan hidup. Politisi jadi pengusaha, pengusaha menjadi politisi, aparat pemerintah jadi pengusaha, atau pengusaha menjadi aparat pemerintah. Tujuannya sederhana untuk menjaga aset yang ada atau menambah aset dengan kedudukan sekarang.
        Indikasi transaksi mencurigakan kerap kali terjadi sebagai imbas agenda demokrasi. Pemilu mahal, biaya hidup mahal, belum lagi berbagai transaksi untuk memuluskan segala proyek telah menjadi warna baru kekuatan kapitalisme. Orientasi manusia modern saat ini kecenderungannya untuk mengkapitalkan segala sesuatu. Entah kekuasaan, elektabilitas, materi, bahkan harga diri. Tidak ada batasan antara kebutuhan private dan public, semua itu bercampur aduk di balut dalil-dalil untuk menutupi kejatahan. Padahal demokrasi mengharapkan ada pemisahan tegas antar urusan pribadi dan umum. Tapi akibat ulah beberapa oknum, demokrasi akrhirnya hanya menguntungkan penguasa karena memiliki akses untuk menyatukan urusan pribadi dan publik. itulah yang menyebabkan kecurigaan kejahatan dalam bentuk money laundry terjadi. Saling sogok, manipulasi data, penggelapan pajak, dan lainya merupakan imbas dari tidak adanya ketegasan memisahkan dua prinsip tadi. Pejabat publik akhir mudah untuk menyelupkan kepentingan pribadi dalam jabatannya. Korupsi dengan sendirinya berakhir di meja-meja teori tanpa ada tindakan agresif untuk memutus benang kusut kasus pencucian uang.
Mencari Kejujuran
        Terwujudnya kebaikan bersama (the common good) merupakan bentuk sebenarnya dari justice. Keadilan timbul dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungkan masyarakat. Tetapi tidak berarti semua kalangan dengan tanggungjawab masing-masing harus mendapat keadilan yang sama. Keadilan itu terletak pada porsi yang diberikan oleh negara. Memang betul seperti itu. Tetapi anehnya pemerintah sebagai bagian dari negara yang membagi keadilan, justru tidak adil. Justru pemerintah menjadi lakon utama dalam tragedi berbagai transaksi ilegal. Kita pasti bertanya tentang keadilan dan tanggung jawab pemerintah kepada publik. Kasus 349 Triliun memberi indikasi ada main belakang di internal pemerintah. Ada oknum yang memanfaatkan kedudukan untuk menarik suap.  Dalam salah satu tulisan Di The Guardian terbit 1 maret 2023, ada judul yang menarik " Rich people help them selve, poor people held each other" (theguardian.com).  Kasus pencucian uang hari ini memberikan gambaran bahwa ada transaksi antara sesama orang kaya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kepentingan untuk memuluskan proyek penggelapan aset dan kepentingan memperkaya diri bertemu dalam satu meja. Frame pemanfaatan kekuasaan, memberikan kita bagaian akhir bahwa kejujuran sulit timbul di ruangan ber-AC dan berlantai keramik. Mungkin hanya timbul ketika sesama warga negara yang susah saling tolong menolong di jalanan Ibu Kota. Tidak lagi di kantor-kantor pejabat yang orientasinya pemenuhan kantong pribadi.