Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menjaga Kualitas Demokrasi Lokal Melalui Desa

22 November 2022   08:37 Diperbarui: 23 November 2022   09:00 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelaksanaaan pemungutan suara (KOMPAS.COM/FIRMAN TAUFIQURRAHMAN)

Semua pihak tentu berharap bahwa pilkada tidak mengurangi kualitas demokrasi meskipun di tengah pandemi dan new normal. Salah satu kualitas itu dapat diukur dari partisipasi masyarakat ketika pemilihan umum dilangsungkan.

Harbert McClosky (Miriam Budiardjo,2008) berpendapat bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembetukan kebijakan umum.

Artinya bahwa proses pemilihan hari ini tetap mengutamakan kualitas demokrasinya. Bahkan KPU sebagai lembaga yang menyelenggarakan Pemiliha Umum mencoba menyentuh langsung masyarakat dengan berbagai kebijakan populis..

Pemilih homogen yang segmentasinya berada di pedesaan akan sulit mengungkapkan argumentasi politiknya dikarenakan akses informasi masih dikuasai elit-elit desa. Elit itu bisa berasal dari kalangan birokrasi atau juga bisa berasal dari kalangan masyarakat yang telah melakukan afiliasi dengan partai politik.

Fakta politik ini mungkin berlaku untuk desa-desa di NTT yang sebagian besar masih menggantungkan opini politiknya kepada elit desa. Cara ini tentunya keliru jika ditinjau dari kacamata demokrasi yang mensyaratkan setiap individu dapat merdeka dengan pilihan politiknya.

Kondisi desa hari ini yang secara pendanaan dapat dikatakan surplus, akan membantu penyelenggaraan pilkada berjalan baik. Proses penyelenggaraan pemilu ini tidak hanya mengenai upaya pemerintah dalam menyiapkan jumlah anggaran.

Tetapi, juga perlu diperhatikan kualitas demokrasi warga desa melalui tingkat partisipasi dan juga argumentasi politiknya. Desa tentunya tidak ingin dijadikan sebagai basis massa yang mudah untuk diperdagangkan. Kondisi pandemi ini memungkinkan aktor-aktor politik menjadikan desa sebagai "sapi perah".

Melihat kondisi ekonomi desa yang mengalami kesulitan, para aktor politik akan memainkan peran sebagai Robin Hood. Peran ini dimaninkan secara transaksional dengan sasaran menjadikan desa itu sebagai lumbung suara. Pameran ini juga didistribusikan oleh oligarki desa yang memiliki akses terhadap kepentingan mereka di level Kabupaten.

Penerapan new normal ini disikapi sebagai momen dimana hegemoni informasi tidak lagi dipegang oleh elit desa. Masyarakat desa "mau tidak mau" harus memanfaatkan teknologi untuk menemukan informasi akurat secara langsung tentang kandidat yang akan dipilih.

Metode daring yang direncanakan KPU, sepertinya akan menguntungkan masyarakat dikarenakan mobilisasi massa secara besar-besaran tidak dilakukan lagi. Dengan syarat, bahwa seorang pemilih harus memiliki akses informasi sendiri melalui gadget. Sehingga pemilih tersebut akan mencoba melakukan filterisasi secara mandiri sebelum menentukan pilihan politiknya. Meskipun begitu, ada ketakutan lain dari pemilu kali ini, yakni akan bertambahnya transaksi money politik.

Menjaga desa tetap bersih dari upaya transaksional dapat dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga nonpemerintah. Asalkan lembaga-lembaga tersebut tidak bias dengan iming-iming kedudukan yang dijanjikan partai politik beserta aktornya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun