Mohon tunggu...
den shoim
den shoim Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Matahari berhias rembulan dan bintang2

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Krama Inggil Peredam Amarah

29 Februari 2016   01:55 Diperbarui: 29 Februari 2016   02:06 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mas, besok kalo kamu udah punya anak istri, tetaplah menggunakan kromo inggil meskipun kepada anak istrimu terlebih saat hatimu panas.

[caption caption="ilustrasi: Ibuku"][/caption]

Piwelinge Ibuk semasa aku kecil tiba-tiba saja menyeruak dalam ingatan. Ntah efek kangenku yang terpendam atau malah beliau yang mengirimkan sinyal kerinduan melalui jiwa keibuannya pada anak lanang ndablek satu ini. Waktu itu aku hanya mengangguk sebagai tanda mengiyakan, tanpa tanya. Sami'na wa atho'na, begitu kira-kira temanku akhi membahasakannya.

******

Tepat pukul 12 malam ini aku terbangun dari pembaringan, merasakan pegal di punggung setelah 3 jam mencoba memejamkan mata namun gagal. Masih terngiang pesan yang keluar dari mulut Ibuk sambil tangannya mengelus lembut kepalaku waktu itu.

Kenapa aku harus berkrama inggil kepada istri? Dia tidak lebih tua dariku. Terlebih kepada anak-anakku. Menurut pakem seharusnya aku menggunakan krama madya kepada istri karena sepantaran, baik umur maupun 'kasta'. Atau malah ngoko saja agar lebih akrab dan nyaman untuk bersendagurau. Istri adalah garwo, sigaraning nyowo (belahan jiwa) tentu sebanding denganku, sesisihan. Soal umur juga dia berada di bawahku meski cuma selisih beberapa bulan saja. Atau karena istriku kebetulan seorang putri kyai, guruku, pembimbing spiritualku? Sepertinya bukan. Waktu Ibuk berpesan demikian bahkan aku belum mengenal istriku saat ini.

******

"Ngopo-ngopo ki mbok dipikir sek bener. Ojo sak karepe dhewe (Apapun sebaiknya dipikir dulu sebelum bertindak, jangan seenak perut sendiri)", teriakku suatu ketika kepada istri entah karena apa.

Malam ini, kemarahan yang telah terluapkan muncul kembali dari alam bawah sadarku. Kejadian demi kejadian seolah diperlihatkan di depan mataku. Tanpa mencoba mengingat, tanpa memaksa untuk melupakan. Menyesal? Tentu saja. Karena ada cara yang lebih baik dari sekedar marah. Tapi apa arti menyesal, toh sejarah takkan pernah bisa dibelokkan.

******

Lama termenung. Sebungkus rokok dan entah berapa gelas kopi kuhabiskan untuk menemani pikirku dalam bertamasya.

"Hahaha, djancuuuk!"
Aku berteriak girang, mentertawakan kebodohanku sendiri.

Tipikal temperamen yang kupunya, Ibuk pasti lebih paham. Barangkali itulah alasan kenapa Beliau mengkhususkan wejangan itu padaku, tidak kepada kedua adikku. Bahwa Krama inggil terlalu indah jika digunakan untuk sekedar marah, misuh, mencak-mencak. Feel-nya ndak bakal ketemu. Bahasa boleh mencak, tapi rasa ndak bakal muncak. Dalam ketoprak, wayang orang, wayang kulit, ataupun kesenian Jawa lainnya pun, ngga bakalan lihat orang misuh menggunakan krama inggil.

"Terima kasih Ibuk, bahkan engkau lebih mengenalku daripada diriku sendiri", gumamku dalam sepi.

******

(sudah dipublikasikan di blog personal Den Shoim, dipublish ulang di sini untuk belajar pede menerima masukan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun