Mohon tunggu...
Den Reza Alfian Farid
Den Reza Alfian Farid Mohon Tunggu... Lainnya - Digital Marketer

Terkadang ku lupa pernah berpikir apa.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Apakah Heuristic Membuat Kita Lebih Cepat Mengambil Keputusan?

25 November 2023   09:00 Diperbarui: 25 November 2023   09:06 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Jens Lelie on Unsplash 

Di sisi lain, keakuratan membutuhkan waktu dan pemikiran yang lebih mendalam. Ini bisa berarti menghabiskan waktu ekstra untuk riset, mempertimbangkan alternatif, atau bahkan berdiskusi dengan orang lain. Dalam konteks pengambilan keputusan yang kompleks, seperti memilih karier atau investasi, pendekatan yang akurat dan terukur jauh lebih penting daripada sekadar cepat. Namun, tantangannya adalah, dalam dunia yang serba instan ini, terkadang kita merasa tidak memiliki cukup waktu untuk itu.

Pertarungan antara efisiensi dan akurasi ini bukan hanya masalah waktu versus kualitas, tetapi juga tentang bagaimana kita menilai risiko dan kesempatan. Heuristic memang bisa menjadikan proses pengambilan keputusan lebih cepat, namun harus diimbangi dengan kesadaran akan keterbatasan dan potensi kesalahan yang mungkin terjadi. Menemukan keseimbangan antara kedua aspek ini merupakan kunci untuk membuat keputusan yang tidak hanya cepat, tetapi juga tepat dan bermanfaat dalam jangka panjang.

Kekuatan Stereotip dan Asumsi
Stereotip dan asumsi sering menjadi bagian dari heuristic. Misalnya, menganggap semua orang dari suatu daerah memiliki sifat tertentu. Ini praktis, tapi sering kali menyesatkan. Kita harus waspada terhadap kebiasaan ini.

Stereotip dan asumsi merupakan dua aspek yang sering kali menjadi landasan heuristic. Kedua hal ini memungkinkan kita untuk membuat keputusan dengan cepat berdasarkan pengalaman atau informasi yang sudah kita miliki. Namun, stereotip dan asumsi sering kali bersifat umum dan tidak selalu mencerminkan realitas. Misalnya, anggapan bahwa semua mahasiswa jurusan seni pasti kreatif atau semua pengusaha harus agresif adalah contoh bagaimana stereotip bisa mempengaruhi pandangan kita terhadap orang lain, terkadang dengan cara yang tidak akurat.

Dalam konteks sosial dan budaya, stereotip dan asumsi sering kali dibentuk oleh pengalaman masa lalu dan pengaruh lingkungan sekitar. Misalnya, di Indonesia, ada anggapan bahwa orang yang berbicara dengan logat tertentu dianggap lebih ramah atau sebaliknya. Meskipun hal ini mungkin terjadi berdasarkan pengalaman pribadi, tidak selamanya ini menjadi patokan yang tepat. Stereotip seperti ini bisa mengarah pada kesalahpahaman dan penilaian yang tidak adil terhadap individu atau kelompok.

Penting untuk menyadari bahwa heuristic berbasis stereotip dan asumsi dapat membatasi cara kita memandang dunia. Ia mengurangi kemampuan kita untuk melihat orang dan situasi dalam keragaman dan kompleksitasnya yang sebenarnya. Mengatasi heuristic ini membutuhkan usaha sadar untuk mengakui dan memeriksa kembali asumsi-asumsi kita. Ini juga berarti membuka diri pada perspektif baru dan informasi yang bertentangan dengan apa yang kita anggap benar, sebuah langkah penting dalam mengembangkan pemahaman yang lebih luas dan inklusif tentang dunia.

Konteks Budaya dan Sosial
Di Indonesia, heuristic terbentuk juga dari konteks budaya dan sosial. Misalnya, dalam memilih karier, banyak yang memilih berdasarkan apa yang dianggap 'aman' oleh masyarakat, bukan apa yang sesungguhnya diinginkan atau berpotensi.

Dalam konteks budaya dan sosial, heuristic memainkan peran yang sangat penting, terutama dalam masyarakat Indonesia yang kaya akan tradisi dan norma sosial. Contoh nyata adalah bagaimana keputusan sehari-hari, mulai dari pemilihan karier hingga cara berinteraksi sosial, sering kali dipengaruhi oleh norma dan ekspektasi budaya. Misalnya, banyak anak muda Indonesia yang memilih jurusan kuliah atau pekerjaan tertentu bukan berdasarkan minat atau bakat mereka, melainkan karena tuntutan sosial atau keluarga yang menganggap beberapa pilihan lebih 'terhormat' atau 'aman' secara finansial.

Heuristic budaya ini juga terlihat dalam cara kita berinteraksi dalam masyarakat. Misalnya, ada kecenderungan untuk tidak terlalu terbuka dalam menyampaikan pendapat atau kritik, demi menjaga harmoni dalam kelompok atau menghindari konflik. Ini adalah contoh dari 'heuristic sosial' yang telah terbentuk dan menjadi bagian dari cara berpikir kita. Walaupun ini bisa membantu dalam menjaga keharmonisan hubungan, namun terkadang juga bisa menghambat kejujuran dan keterbukaan dalam diskusi.

Di sisi lain, heuristic budaya dan sosial ini juga bisa menjadi benteng pertahanan nilai-nilai positif. Misalnya, nilai gotong royong dan kekeluargaan yang kental dalam masyarakat Indonesia membantu dalam membentuk heuristic yang mendorong kerjasama dan saling bantu. Ini menunjukkan bahwa heuristic tidak selalu negatif, tetapi bisa juga menjadi alat yang memperkuat nilai-nilai sosial dan kebersamaan, selama kita menyadarinya dan menggunakan dengan bijak.

Heuristic dalam Teknologi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun