'Stockholm Syndrome', fenomena menarik di mana korban merasa empati terhadap pelaku.
Pernahkah kita terjebak dalam labirin emosi yang begitu kompleks sampai-sampai kita merasa empati, bahkan mencintai orang yang seharusnya kita hindari? Sebelum berpikir bahwa itu mustahil, mari kenalan dulu dengan 'Stockholm Syndrome'.
Di Balik Nama 'Stockholm Syndrome'
Banyak yang mungkin penasaran, kenapa sih harus 'Stockholm Syndrome'? Ternyata, istilah ini pertama kali muncul pada tahun 1973, berawal dari peristiwa perampokan bank di kota Stockholm, Swedia. Pada peristiwa tersebut, para korban malah mulai memihak dan berempati pada para perampok, bahkan setelah perampokan berakhir. Sungguh hal yang aneh, bukan?
Namun, tahukah kita bahwa 'Stockholm Syndrome' bukanlah istilah resmi dalam ilmu psikologi? Fenomena ini justru populer di media massa, bukan di kalangan ahli psikologi. Namun demikian, fenomena ini tetap menarik untuk dibahas karena menunjukkan bagaimana otak kita bisa terjebak dalam situasi yang kompleks.
Peristiwa-peristiwa seperti ini seringkali terjadi di dunia nyata, bukan hanya dalam kasus perampokan. Misalnya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga atau penyalahgunaan anak, korban terkadang merasa berhutang budi atau malah mencintai pelaku. Memang ironis, tapi itulah kenyataannya.
Berkenalan dengan Otak: Teater Emosi dan Logika
Menurut ilmu psikologi, otak manusia itu seperti panggung drama. Ada dua aktor utama yang sering bermain, yaitu emosi dan logika. Keduanya ini bekerja sama dalam membentuk persepsi kita terhadap dunia sekitar, termasuk saat kita mengalami trauma.
Ketika seseorang dalam kondisi terancam, emosi berperan penting dalam mempengaruhi respons kita. Mekanisme ini disebut 'fight or flight' atau 'lawan atau lari'. Nah, dalam kasus 'Stockholm Syndrome', ada aktor lain yang muncul, yaitu empati. Ketika seseorang merasa hidupnya terancam, empati bisa muncul sebagai respons untuk mengurangi ancaman tersebut.
Bagaimana bisa? Coba bayangkan saat seseorang merampok kita, secara naluriah pasti ingin melawan atau lari, kan? Tapi, jika melawan atau lari berarti membahayakan hidup, otak kita pun berusaha mencari strategi lain. Salah satunya adalah mencoba memahami dan merasakan apa yang dirasakan oleh si perampok. Nah, proses itulah yang disebut dengan empati.