Berani taruhan, sebagian besar pembaca pernah menjadi korban kebutuhan untuk menyenangkan orang lain. Betapa bahagianya hati saat melihat senyum di wajah mereka, yang pada akhirnya menjadi semacam candu.Â
Namun, tahukah bahwa menjadi people pleaser---yang selalu berusaha memuaskan orang lain---bukanlah jalan menuju kebahagiaan yang sejati?Â
Mari kita kaji dari sudut pandang filsafat, dengan pendekatan yang sederhana, dan tentu saja, tanpa bermaksud menggurui.
Eksplorasi Filsafat: Mengapa Menjadi People Pleaser Bukanlah Kunci Kebahagiaan
Ketika membahas tentang kebahagiaan, sulit untuk tidak menyebut filsuf legendaris Aristoteles. Menurut beliau, kebahagiaan adalah tujuan tertinggi dalam hidup dan merupakan hasil dari kebajikan atau keutamaan yang diperoleh melalui latihan dan pembiasaan.Â
Intinya, kebahagiaan adalah sesuatu yang diperjuangkan dan diupayakan, bukan diperoleh dari pujian atau persetujuan orang lain.
Sementara itu, Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman terkenal, menekankan bahwa tindakan yang benar dilakukan karena kewajiban moral, bukan karena keinginan untuk menyenangkan orang lain.Â
Ketika seseorang berusaha memuaskan orang lain, ia mungkin mengabaikan prinsip moral yang ada. Dalam konteks ini, menjadi people pleaser bisa berarti mengorbankan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi.
Sekarang, kita ketahui bahwa menyenangkan orang lain bukanlah kunci kebahagiaan yang sejati, pertanyaannya adalah: apa yang salah dengan menjadi people pleaser?
1. Mengabaikan Kebutuhan Diri
Mungkin saja terdapat sebuah kapal yang selalu berusaha menyelamatkan orang yang jatuh ke laut. Kapal ini begitu sibuk menyelamatkan orang, sehingga tidak pernah merawat diri sendiri.Â