Tak terasa, air mata mengalir deras ketika nonton film drama atau mendengar kisah-kisah menyedihkan yang seringkali menggugah hati. Tapi, pernahkah kita merenung, mengapa kita bisa begitu tergerak oleh kisah derita orang lain?Â
Mengapa derita menjadi momen yang seringkali menyentuh perasaan kita? Nah, dalam artikel ini kita akan mencoba mengkaji nilai berharga dari derita dengan pendekatan filsafat.
Mari mulai dengan pandangan seorang filsuf terkenal, Friedrich Nietzsche. Menurut Nietzsche, derita adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan, ia menyatakan "Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita lebih kuat."Â
Dari sudut pandang Nietzsche, derita bukanlah hal yang harus dihindari. Sebaliknya, derita membuat kita tumbuh, mengasah keberanian dan ketahanan diri. Jadi, bukankah derita sebenarnya menjadi titik balik yang bisa membawa kita menuju ke arah yang lebih baik?
Terlepas dari pandangan Nietzsche, ada pula pandangan lain dalam filsafat mengenai derita, seperti yang diungkapkan oleh Arthur Schopenhauer. Menurutnya, derita merupakan konsekuensi dari keinginan manusia yang tak terpuaskan.Â
Schopenhauer menekankan bahwa kebahagiaan adalah ketidakberadaan derita. Dari sudut pandang ini, derita menjadi semacam alarm yang mengingatkan kita untuk mengevaluasi dan merefleksikan keinginan-keinginan kita. Apakah keinginan itu penting, atau justru menjadi racun yang membuat kita terus menderita?
Kita juga tak bisa melupakan pandangan seorang filsuf besar, Stoik Epiktetus, yang mengatakan "Bukanlah peristiwa itu sendiri yang membuat kita menderita, melainkan pandangan kita terhadap peristiwa tersebut." Menurut Epiktetus, kita memiliki kekuatan untuk memilih bagaimana kita meresapi dan merespon peristiwa yang menyakitkan. Dari perspektif ini, derita menjadi pelajaran untuk melatih kontrol diri dan membangun kebijaksanaan dalam menyikapi peristiwa dalam hidup kita.
Ada lagi pandangan dari filsafat Buddha yang mengajarkan "Empat Kebenaran Mulia". Dari keempat kebenaran tersebut, yang pertama adalah "Dukkha" yang berarti penderitaan atau ketidakpuasan.Â
Dalam ajaran Buddha, derita adalah kondisi alamiah manusia yang tak terhindarkan. Namun, yang menarik adalah ajaran ini juga mengajarkan bahwa kita bisa mengatasi derita dengan melatih pikiran, melalui meditasi, dan mengikuti "Jalan Tengah". Jadi, derita juga menjadi jalan pembelajaran untuk mengatasi penderitaan dalam hidup.
Berdasarkan kajian filsafat yang telah dijelaskan, derita memiliki berbagai nilai berharga yang bisa kita petik. Kita bisa melihat derita sebagai kesempatan untuk tumbuh, evaluasi diri, melatih kontrol diri, dan mengatasi penderitaan dengan mengikuti jalan yang benar.Â