Tak selang beberapa lama setelah menamatkan pendidikan S1, seorang kolega yang waktu itu sangat saya hormati menanyai saya sebuah pertanyaan yang umum ditanyakan kepada seseorang yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di jenjang tertentu. 'Apa rencana selanjutnya?' Dengan spontan saya menjawab, 'InshaAllah lanjut S2 pak'. Awalnya tak ada yang aneh dalam percakapan kami. Sampai saatnya saya menyadari bahwa garis di keningnya terlihat lebih jelas, dilanjutkan dengan kalimat menohok yang keluar dari mulutnya. 'Perempuan itu kan ujung-ujungnya akan berada di dapur juga'. Sebagaiperempuan yang membawa bongkahan-bongkahan mimpi, yang dijadikan pemacu semangat juang, tentu saya merasa terlukai ketika mendengar pernyataan semacam itu. Bukan karena saya beranggapan bahwa bekerja di dapur adalah sesuatu yang tidak mulia. Malah sebaliknya, saya sangat menghargai para ibu dan perempuan di luar sana yang mendedikasikan dirinya untuk memasak dan menyediakan kebutuhan sehari-hari keluarganya dengan keikhlasan. Yang saya garis bawahi adalah bagaimana anggapan atau stereotype yang menguasai cara berfikir masyarakat kita mengenai 'bagaimana peran perempuan seharusnya'.
Barangkali jika yang melontarkan kalimat tersebut bukanlah seorang yang saya anggap akan memiliki pikiran terbuka, tentu saya akan maklumi dan menganggapnya sebagai angin lalu. Namun, menariknya, orang tersebut memiliki gelar akademik yang tinggi, seorang doktor. Apa yang saya alami membuat saya sadar bahwa stereotype semacam itu tak pandang bulu, tak kenal latar belakang pendidikan seseorang. Bahkan seorang doktor pun bisa tenggelam di dalam nya. Ya, saya paham, tidak dapat mengeneralisir hal semacam ini dan serta merta berkesimpulan bahwa semua orang akan sama saja. Namun kenyataannya, memang di sebahagian besar masyarakat kita, keberadaan feminine mystiquemasihlah sangat kental. Menurut Betty Friedan, seorang pakar feminisme, feminine mystiquesendiri adalah anggapan dalam masyarakat yang membuat perempuan terjebak dalam definisi 'menjadi perempuan' sebatas 'berdedikasi di dapur, sumur, dan kasur', tak lebih. Terlebih lagi hal tersebut dianggap lumrah tanpa adanya keinginan untuk mempertanyakan, bahkan oleh perempuan sendiri. Anggapan semacam inilah yang seringkali menjadi sumber malapetaka yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan serta menjadi pemicu lemahnya keadaan sosial dan ekonomi suatu masyarakat.
Berkaca dari pengalaman saya, feminine mystiquemenciptakan anggapan bahwasannya tidak akan ada gunanya jikalau perempuan mengenyam pendidikan tinggi, toh kembalinya akan ke 'dapur' juga. Dengan adanya anggapan seperti ini, tentu akan berdampak kepada kurangnya kesempatan yang dimiliki perempuan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Berdasarkan kepada asas sebab akibat, kesempatan yang diperoleh oleh perempuan untuk mengenyam pendidikan yang layak setidaknya akan ditentukan oleh dua hal, pertama, dorongan dari lingkungan sekitar dan kedua, dorongan dari diri sendiri. Namun, saya berasumsi bahwa dorongan dari lingkungan sekitar akan lebih besar dan akan berdampak kepada motivasi diri yang dimiliki oleh seseorang. Memang, ada beberapa pengecualian ketika seseorang dapat membalikkan suatu keadaan dengan memiliki motivasi yang besar dengan minimnya dorongan dari lingkungan sekitarnya. Namun, tentu hal ini tidak berlaku untuk semua orang.Â
Contohnya saja, jika seorang perempuan tinggal dan besar di lingkungan yang kental dengan feminine mystique-nya, tentu ajaran dan pemahaman yang akan ditanamkan kepada si perempuan tidak akan jauh dari pembenaran anggapan- anggapan tersebut. Dalam hal ini, pengaruh lingkungan yang kuat akan mendorong perempuan untuk mempercayai hal yang sama, terlebih lagi apabila si perempuan hanya terpaku dengan pengetahuan yang diberikan oleh lingkungan sekitar kepadanya tanpa mengenal perspektif -- perfektif lain di luar sana. Sebagai konsekuensinya, hal ini sangat memungkinkan untuk menutup pintu bagi perempuan agar dapat memiliki pemikiran terbuka dan cara pandang mengenai pentingnya pendidikan. Nah, kalau sudah begini, bagaimana bisa para perempuan akan memiliki motivasi untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi dan sadar bahwa pendidikan itu amat sangat bermanfaat tidak hanya bagi diri mereka sendiri, namun juga bagi orang sekitarnya? Malahan, sejalan dengan pembenaran yang dipercayai, motivasinya diasumsikan akan sesuai dengan tuntutan orang -- orang di sekitarnya mengenai bagaimana 'perannya seharusnya'. Miris bukan?
Ah, rasanya sudah banyak sekali pemaparan -- pemaparan di luar sana yang membahas bagaimana pentingnya pendidikan. Kata Nelson Mandela, pendidikan itu adalah senjata yang sangat ampuh untuk merubah dunia. Kata Allan Bloom, pendidikan itu akan membawa cahaya kepada kegelapan. Namun, kenapa hal secamam ini malah sering kali dipersempit pengertiannya oleh sebagian orang, seolah -- olah hanya laki -- laki saja yang akan merubah dunia dan hanya laki -- laki saja yang akan membawa cahaya kepada kegelapan. Atau dengan kata lain, mereka beranggapan hanya kaum pria saja yang sepantasnya mengenyam pendidikan, khususnya pendidikan tinggi dan perempuan tidak.Â
Berlandaskan kepada sejarah, sudah sangat banyak perempuan-perempuan hebat yang dengan ilmunya mampu berperan penting dan membawa kemashlahatan bagi masyarakat luas. Contohnya saja, seorang perempuan hebat dari abad pertengah, Mariyam al-Ijliya, yang diberikan julukan Al-Astrobiya atas jasanya yang sangat penting dalam bidang astronomi yaitu sebagai penemu GPS pertama di dunia. Contoh lainnya, Fatimah al-Fihri, seorang perempuan yang sangat penting perannya di dalam dunia pendidikan.Bagaimana tidak, perempuan ini tercatat sebagai seorang penggagas berdirinya lembaga pendidikan tinggi yang disebut dengan universitas,yang mana ia merupakan pendiri universitas pertama di dunia, Universitas Qairouan, Maroko pada tahun 859 M. Jika dipikirkan lagi, malah prestasi yang mereka tukilkan dan pengetahuan yang mereka miliki tidak hanya bermanfaat bagi orang -- orang dimasanya. Namun lebih dari pada itu, ilmu mereka bermanfaat hingga lintas generasi. Bahkan barangkali, kita sebagai manusia yang hidup pada zaman sekarang belum akan menjadi 'apa-apa' tanpa peranan yang mereka miliki.
Nah, dengan demikian, masih patutkah kita beranggapan bahwa perempuan tidak memerlukan pendidikan? masih patutkah kita beranggapan bahwa perempuan semata-mata hanya akan berakhir di 'dapur'? Bukankah Nabi Muhammad SAW sendiri telah bersabda bahwa menuntut ilmu wajib hukumnya baik itu bagi laki -- laki maupun perempuan? Kemudian, bagaimana bisa kita yang hanya manusia biasa berani -- beraninya mengingkari sabda rasul dan mengelak dari bukti sejarah? Sudah sepatutnya kita buka mata hati dan pikiran mengenai hal tersebut.
Selanjutnya, sebagai refleksi, berlandaskan kepada diskusi saya dengan seorang teman beberapa waktu lalu mengenai hal ini, kami berkesimpulan bahwa ada suatu hal yang sebenarnya sangat luar biasa ketika seorang perempuan memiliki pengetahuan yang tinggi. Semua orang tentunya sadar dan paham bahwa nantinya seorang perempuan akan menjadi seorang ibu, dan ibu merupakan madrasah pertama bagi buah hatinya. Nah, bayangkan saja akan seperti apa nantinya jika seorang anak dididik oleh seorang ibu yang berpendidikan tinggi dimulai dari saat ia terlahir kedunia? Ketika, pada umumnya, kebanyakan orang baru akan merasakannya di bangku perkuliahan dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Allahu alam.
Lebih dari pada itu, selain berpengaruh besar terhadap orang -- orang terdekatnya, ternyata pendidikan bagi kaum perempuan juga sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Berdasarkan kepada pendapat lembaga pembangunan Perserikatan Bangsa -- Bangsa (PBB), tingkat kesetaraan pendidikan suatu masyarakat antara laki -- laki dan perempuan akan menentukan bagaimana kesejahteraan masyarakat tersebut. Semakin tinggi angka kesetaraannya, maka akan semakin sejahtera masyarakat tersebut, dan begitu pula sebaliknya.Â
Selanjutnya, jika ditelisik lebih jauh, tak jarang ditemukan para perempuan yang berdedikasi menjadi seorang ibu, namun sekaligus menjadi sandaran hidup bagi keluarganya. Nah logikanya, ditengah masyarakat yang erat kaitannya dengan asumsi feminine mystique, hanya akan ada sedikit kemungkinan bagi perempuan -- perempuan tersebut untuk memiliki skill dan pengetahuan yang memadai yang barang tentu akan berujung kepada jenis pekerjaan yang mereka miliki nantinya. Tak menampik, banyak perempuan -- perempuan yang terpaksa mengerjakan pekerjaan kasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Ditambah lagi dengan rendahnya pendidikan, kemungkinan diskriminasi terhadap perempuan tentu akan lebih besar. Berdasarkan data, banyak terdapat diskriminasi terhadap perempuan di beberapa sektor pekerjaan. Contoh realnya ketika upah buruh perempuan seringkali cenderung lebih rendah dari pada upah buruh laki -- laki dengan pekerjaan dan jam kerja yang sama. Bahkan sebagian dari mereka ada yang tidak menerima upah hanya karena mereka adalah 'perempuan'.Â
Dengan kondisi yang seperti demikian, bagaimana mungkin suatu masyarakat akan memiliki keadaan sosial dan kondisi perekonomian yang baik. Malahan, hal yang seringkali kita temui adalah rendahnya tingkat kesejahteraan dan tingginya tingkat kemiskinan. Bayangkan, jika para perempuan tersebut memiliki pendidikan yang memadai, tentu mereka akan mampu mencari penghidupan yang lebih layak serta mampu berpikir kritis dan melakukan perlawanan jika hak asasi mereka terlukai. Dan tentu, dampaknya nanti adalah kepada perbaikan sosial dan ekonomi masyarakat.