Judul ini saya buat berdasarkan pertanyaan dari seorang teman pengusaha muslim yang bertanya kepada saya melalui email pribadi. Semakin menguatnya pemahaman syariah Islam di kalangan pengusaha muslim membuat keinginan untuk menerapkan syariah Islam juga semakin menguat, tidak hanya sekedar ritual saja, tetapi bagaimana menerapkan syariah Islam di dalam sendi-sendi kehidupan termasuk dalam hubungan muamalah, khususnya dalam membuat kontrak/perjanjian. Hukum perjanjian di Indonesia bersumberkan pada kitab undang-undang yang dikodifikasi pada jaman pemerintahan kolonial belanda, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata / KUHPerdata (bugerlijk wetboek). Meskipun dikodifikasi pada jaman pemerintahan kolonial belanda, pemberlakuannya adalah untuk seluruh wilayah Indonesia yang merupakan jajahan pemerintahkolonial belanda saat itu, dan berlaku hingga saat ini. Opini ini tidak akan membahas lebih jauh kenapa KUHPerdata masih digunakan hingga saat ini.
Bagi umat Islam, KUHPerdata bukanlah hukum yang berasal dari syariah Islam, sehingga isinya dan apa yang diatur didalamnya tidak sesuai dengan kondisi dan jiwa umat Islam. Disamping itu pula dalam Syariah Islamtelah ada hukum-hukum yang mengatur tentang perjanjian sebagai bagian dari hukum muamalah, yang mana menunjukkan Syariah Islam telah lengkap dan lebih baik menyangkut tentang hukum yang berlaku bagi umat Islam. Dengan latar belakang pemikiran tersebut timbul pertanyaan, yaitu :
1.Apakah dimungkinkan dalam tata hukum nasional Indonesia, umat Islam menerapkan syariah Islam dalam hukum perjanjian?
2.Apakah penyelesaian sengketa yang terjadi atas perjanjian tersebut dapat diselesaikan berdasarkan syariah Islam?
Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut diatas maka kita dapat meninjau berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah lagi dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Agar lebih mudah dalam penyebutannya saya singkat saja UU Peradilan Agama.
Dalam pasal 49 UU Peradilan Agama dinyatakan :
Pasal 49
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
(Untuk lebih jelas mengenai masing-masing bidang dapat di lihat di penjelasan)
Pasal tersebut menjelaskan tentang kompetensi peradilan agama, yaitu kewenangan memutuskan terhadap perkara apa saja yang dapat diajukan ke pengadilan agama. Jadi semua sengketa antara orang yang beragama Islam dalam bidang-bidang yang disebutkan dalam pasal 49 dapat diajukan gugatan melalui pengadilan agama.
Selain kompetensi, peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum atau referensi dalam sengketa di lingkungan Pengadilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam, yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang membahas bidang a sampai h. Khusus huruf i bidang ekonomi syariah digunakan Kompilasi Hukum ekonomi Syariah yaitu Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 dan lebih khusus lagi dalam bidang perbankan syariah menggunakan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Selain peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan, pada dasarnya sumber hukum dari peraturan tersebut adalah Al-Quran dan Assunnah Rasulullah, sehingga sebagai sumber hukum tertinggi bagi umat Islam, keduanya dapat digunakan sebagai dasar hukum dalam mencari jalan keluar persamasalahan yang disengketakan.
Bagaimana bila ada sengketa yang bersifat khusus yang terjadi dalam hubungan muamalah di antara orang yang beragama Islam di Indonesia selain yang disebutkan dalam pasal 49 diatas? Apakah sengketa tersebut dapat diselesaikan di pengadilan agama? Jawabannya dapat dilihat dalam pasal 3A ayat (1) dan ayat (3) UU Peradilan Agama. Berikut kutipan pasal 3A dan penjelasannya :
Pasal 3A
(1)Di lingkungan peradilan agama dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang.
(3)Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
Penjelasan pasal 3A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “diadakan pengkhususan pengadilan” adalah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan peradilan agama dimana dapat dibentuk pengadilan khusus, misalnya pengadilan arbitrase syariah, sedangkan yang dimaksud dengan "yang diatur dengan undang-undang" adalah susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.
Ayat (3)
Tujuan diangkatnya “hakim ad hoc” adalah untuk membantu penyelesaian perkara yang membutuhkan keahlian khusus misalnya kejahatan perbankan syari’ah dan yang dimaksud dalam “jangka waktu tertentu” adalah bersifat sementara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pasal 3A ayat (1) dan ayat (3) UU Peradilan Agama kita dapat mengajukan permohonan untuk diadakannya pengadilan khusus di dalam Pengadilan Agama (menggunakan hakim ad hoc) yang mempunyai fungsi sebagai pengadilan arbitrase syariah untuk memeriksa sengketa yang bersifat khusus (di luar bidang yang disebutkan dalam pasal 49) diantara orang yang beragama Islam. Ini merupakan terobosan yang hampir dapat dikatakan tidak diketahui oleh umat Islam, padahal peranannya mencakup bidang yang luas, semua perjanjian yang dibuat antara orang yang beragama Islam dapat dipilih penyelesaian sengketanya di Pengadilan Agama.
Dengan demikian sebagai umat Islam dan juga sebagai Warga Negara Indonesia kita tidak lagi terikat secara mutlak kepada KUH Perdata (BW), tetapi kita juga dapat menggunakan dalil-dalil yang bersumber pada Al-Quran dan Assunnah sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa dalam hubungan muamalah diantara umat Islam.
Dengan adanya ketentuan tersebut makadalam suatu perjanjian kita dapat memuat klausul yang menyatakan penyelesaian sengketa akan dipilih melalui pengadilan agama, dengan syarat semua pihak yang membuat perjanjian beragama Islam dan lingkup perjanjian adalah sesuai bidang yang disebutkan dalam pasal 49 dan juga yang bersifat muamalah (pilihan pengadilan agama sebagai arbitrase syariah).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H