Mohon tunggu...
Denny Yapari
Denny Yapari Mohon Tunggu... -

Lulusan Sarjana Teknik Elektro (S.T.) dari Institut Teknologi Nasional Bandung, Sarjana Hukum (S.H.) Universitas Yos Soedarso Surabaya, dan Magister Ilmu Hukum (M.H.) Universitas Narotama Surabaya. Ahli Pengadaan Nasional dan Advokat/Konsultan Hukum yang berdomisili di Kota Sorong

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengemudi Kendaraan tanpa, SIM Siapa yang Salah?

30 Januari 2012   13:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:16 6187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita semua mungkin tersentak kaget ketika mendengar atau melihat berita di media massa tentang sebuah mobil yang dikemudikan oleh seorang wanita berusia 29 tahun dan tidak memiliki SIM menabrak 13 orang pejalan kaki di Tugu Tani Jakarta dan mengakibatkan 9 orang diantaranya meninggal dunia. Begitupun juga ketika seorang anak berusia 14 tahun mengemudikan mobil di makassar dan menabrak 15 orang di lokasi yang berbeda-beda.

Terlepas dari pengemudi wanita dalam berita tersebut dalam pengaruh minuman keras dan juga penggunaan narkotika ketika mengemudikan kendaraannya, namun yang penulis ingin garis bawahi dari kedua kejadian tersebut adalah kedua pengemudi tidak dalam keadaan mempunyai hak untuk mengemudikan kendaraan (tidak mempunyai SIM). Ini menarik perhatian penulis mengingat 86% penyebab kecelakaan lalu lintas di jalan adalah karena faktor manusia, yang bisa jadi kemampuan mengemudinya patut dipertanyakan.

Pasal 77 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalanwajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan. Berdasarkan persyaratan usia yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009 maka ditentukan minimal usia 17 tahun untuk dapat memiliki SIM A bagi orang yang mengemudikan mobil. Dalam kasus wanita di Jakarta tersebut seharusnya dia sudah dapat memiliki dan mengurus SIM sebelumnya, sedangkan dalam kasus anak di Makassar maka dia belum cukup umur untuk mengurus SIM. Selain persyaratan usia, masih ada persyaratan lain yang harus dipenuhi bagi seseorang yang ingin memiliki SIM, diantaranya persyaratan administratif, kesehatan dan lulus ujian.

Dengan adanya aturan yang cukup lengkap tersebut timbul pertanyaan kenapa masih ada pengemudi yang tidak memiliki SIM dengan berani mengemudikan kendaraannya di jalan? Padahal pasal 281 UU No. 22 Tahun 2009 memberikan ancaman pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan dan denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) bagi pengemudi yang tidak memiliki SIM. Tulisan ini mencoba menganalisis kenapa keadaan tersebut dapat terjadi.

Semakin mudahnya orang memperoleh kendaraan dan meningkatnya gaya hidup hedonisme membuat kendaraan saat ini bukan lagi menjadi barang mewah. Dulu untuk memiliki kendaraan, apalagi mobil, anda harus menjadi orang yang sangat kaya, sekarang tidak lagi. Untuk memiliki motor sudah dapat diangsur dengan uang muka Rp. 500.000,- sehingga motor sudah hampir menjadi barang kebutuhan pokok bagi setiap keluarga. Demikian juga dengan mobil, sudah bukan miliknya orang kaya lagi, rata-rata keluarga berpenghasilan menengah sudah dapat memiliki mobil di garasi rumahnya, bahkan bagi orang yang hidup di kota besar, bisa jadi lebih utama memiliki mobil baru kemudian memiliki rumah.

Keadaan ini tidak didukung dengan kesadaran bahwa untuk dapat mengemudi seseorang harus memiliki izin dan memiliki kompetensi mengemudi (Pasal 77 UU No. 22 Tahun 2009). Kesadaran untuk memiliki SIM di masyarakat kita sangat rendah, apalagi pengemudi mobil, kenapa? karena petugas polisi jarang melakukan pemeriksaan SIM bagi mobil. Bayangkan bagaimana kemacetan yang timbul bilamana Polisi setiap hari melakukan pemeriksaan SIM bagi pengendara mobil. Berbeda halnya dengan pengendara motor, Polisi cukup sering melakukan pemeriksaan atau yang dikenal sebagai sweeping terhadap motor, namun demikian masih saja banyak terlihat banyak anak-anak yang sudah pasti tidak memiliki SIM namun masih mengendarai motor di jalan-jalan, apalagi jalan kecil. Terkadang malah tidak dilengkapi dengan helm pengaman atau malah berbonceng 3 orang.

Salah satu alasan orang tidak mengurus SIM adalah karena takut tidak lulus ujian SIM walaupun sudah memenuhi persyaratan lainnya, biasanya karena memang sudah sadar diri atau tidak percaya diri sehingga merasa kalaupun ikut ujian pasti tidak lulus, sehingga orang tersebut berpikir kalau selama ini polisi hampir tidak pernah memeriksa pengemudi mobil ataupun jika dia mengendarai motor lalu tidak diperiksa dan tidak ketahuan tidak memiliki SIM, maka bebas saja menggunakan kendaraan.

Alasan lainnya orang tidak mengurus SIM, adalah karena tidak mau ribet, terlalu lama urusannya, belum lagi kalau dalam pengurusan SIM sering timbul hal-hal yang menyebabkan pengurusan SIM menjadi panjang dan tidak jelas kapan selesainya, seperti blangko habis, alat foto rusak dan lain-lain, padahal orang tersebut maunya yang instan dan cepat, akhirnya malas mengurus SIM.

Selain itu, ada juga orang yang tidak memiliki SIM karena memang tidak memenuhi semua persyaratan untuk memiliki SIM, salah satunya adalah anak-anak yang mengemudikan kendaraan. Secara hukum anak-anak belum dapat dimintakan pertanggungjawab, sehingga itulah sebabnya diberikan persyaratan batas usia 17 tahun untuk memiliki SIM. Kalau anak-anak yang belum mempunyai tanggung jawab sudah dapat mengemudikan kendaraan maka orang tua anak tersebut lebih tidak bertanggung jawab lagi, anaknya yang belum cukup usia sudah diajarkan cara mengemudi (baik diajar sendiri ataupun diajari orang lain), bahkan mungkin asal tahu mengemudikan kendaraan saja secara sepintas lalu, dengan pemikiran yang penting tahu dulu asalkan tidak dibawa ke jalan. Padahal dengan pengetahuan mengemudi yang terbatas anak tersebut menjadi berani dan penasaran untuk mencoba di jalan, yang sangat berbahaya ketika percobaan tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan orang tuanya. Sebagai orang tua hal ini jarang disadari, terkadang karena tertutup rasa sayang yang berlebihan orang tua tidak lagi berpikiran objektif terhadap anaknya.

Semua alasan tersebut diatas menuju kepada satu hal yang utama, yaitu masih ada jalan lain untuk pengemudi yang tidak memiliki SIM. Satu kata kuncinya yaitu ”SUAP”, masyarakat saat ini dengan mudahnya menyelesaikan persoalan SIM dengan menyuap yang juga selaras dengan masih banyaknya oknum Polisi yang korup dan mau menerima suap. Kalau persyaratan untuk mengurus SIM ada yang kurang atau tidak lulus ujian maka di ”akali” dengan ”menembak” SIM, akibatnya pemegang SIM yang seharusnya tidak layak untuk mengemudi kendaraan tetap saja dapat memiliki SIM. Padahal SIM ini dikeluarkan oleh institusi POLRI, tidak ada institusi lain yang mengeluarkan SIM. Jalan lain yang tidak memiliki SIM namun tetap mengemudi adalah kalau tertangkap tangan dalam pemeriksaan polisi karena tidak mempunyai SIM, maka diselesaikan dengan ”damai” sehingga akhirnya pun dapat kembali melanjutkan perjalanan. Atau kalaupun ada polisi yang berani maka senjata yang digunakan adalah beking/kenalan/keluarga oknum polisi lain, biarkan sesama polisi saling berurusan, yang penting tidak ada yang ditahan.

Pada akhirnya sebagian pengendara yang tidak memiliki SIM merasa tidak wajib lagi untuk memilikinya, karena selama tidak ketahuan maka tidak masalah. Ketahuan pun masih bisa diselesaikan. Timbulnya pemikiran ini tidak lain buah dari rusaknya hukum kita di masyarakat. Ketaatan dan ketertiban dalam berlalu lintas sebagai wujud tanggung jawab kita bagi orang lain sebagai pengguna jalan akhirnya tidak ada lagi. Yang muncul di jalan adalah sifat tidak berhati-hati, sembrono dan tidak bertanggung jawab dari pengemudi seperti ini, sehingga menimbulkan rasa was-was dan ketakutan dari pengguna jalan lain, terutama pejalan kaki. Semakin banyak pengemudi yang tidak lagi merasa bahwa dia hanyalah bagian dari manusia lain yang berhak menggunakan jalan.

Perubahan harus dimulai dari institusi POLRI, mulai dari pengetatan kepemilikan SIM, hingga penegakan hukum di jalan, dengan satu catatan : TANPA PANDANG BULU. Siapapun dia yang tidak memenuhi syarat tidak dapat memiliki SIM, dan barang siapa yang melanggar lalu lintas harus ditilang, mau anaknya Jenderal, mau anaknya Taipan/Konglomerat, mau anaknya rekan sesama Polisi atau bahkan anaknya petani di desa, semuanya diperlakukan sama. Kepemilikan SIM adalah wujud dari kompetensi pemiliknya bahwa dia memang mampu untuk mengemudikan kendaraan dan bertanggung jawab atas perbuatannya selama berada di jalan.

Sebaiknya dibuat aturan selama jangka waktu khusus selama 5 tahun ini untutk pengetatan dalam kepemilikan SIM, dimulai dengan pendaftaran untuk memiliki SIM baru, hingga ujian ulang bagi pemilik yang akan mengurus perpanjangan SIM. Upaya ini bertujuan untuk menyaring bahwa pemilik SIM memang orang yang benar-benar memenuhi semua persyaratan. Demikian juga dengan pendidikan peningkatan kesadaran berlalu lintas bagi masyarakat hendaknya ditanamkan dengan baik sehingga masyarakat sadar pentingnya tertib berlalu lintas di jalan raya. Hal penting selanjutnya adalah penegakan hukum di jalan yang dilakukan oleh POLRI demi terciptanya kepastian hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun