Mohon tunggu...
denny suryadharma
denny suryadharma Mohon Tunggu... Freelancer - penjelajah rasa, merangkum dalam kata bermakna untuk dikabarkan pada dunia

lahir di bandung, suka dengan dunia kuliner, traveling dan menulis lepas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Tiada Bahagia Jika Tiada Restumu

1 Februari 2017   22:26 Diperbarui: 1 Februari 2017   22:37 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Imbalannyapun beragam dari sekedar traktir semangkok bakso, dibuatkan pekerjaan rumah , hingga lembaran lembaran rupiah memenuhi pundi pundiku. Uang kiriman dari orang tua pun untuk hidup di kota sedikit demi sedikit mulai aku tabung. Selain untuk menambah koleksi buku akupun berniat untuk membelikan kado untuk kedua orang tua di kampung halaman. Sebuah kaca mata baca untuk ibu dan tape keluaran terbaru untuk ayah, tak tak perlu lagi berpayah payah memutar piringan hitam lagu lagu bimbo, koes plus, atau said effendi.

Memasuki dunia kampus, aku mulai memberanikan diri untuk menyampaikan gagasan, ide ataupun opini ke sejumlah surat kabar. Entah sudah berapa belas kali aku mengirimkan, tapi selalu gagal. Ketika harapan hampir padam, ibu selalu memberi semangat. Niatkan menulis untuk berdakwah. Mungkin hari ini belum, siapa tahu besok atau lusa.

Dan akhirnya, ucapan ibu memang terbukti. Dengan kesabaran, pantang menyerah akhirnya aku bisa menyampaikan dakwah lewat tulisan. Setelah itu, semua berjalan seperti mengalir. Hingga mendapatkan jodohpun melalui tulisan. Saat melamar calon istriku, dengan bangga aku mengatakan berprofesi sebagai penulis, padahal waktu itu aku belum memiliki pekerjaan tetap. Saat menikah pun, berjudul judul buku aku jadikan sebagai mas kawinnya. Saat ditanya alasannya dengan mantap aku mengatakan, dengan membaca buku aku bisa seperti sekarang ini. dan berkat jasa seorang ibu yang mengajarkan, menanamkan sedari kecil untuk selalu membaca maka aku bisa seperti sekarang ini. maka dengan ini aku pinang engkau dengan buku.

Ibu, keberhasilanku saat ini tidak lepas dari pondasi kokoh yang telah ibu bangun yaitu membaca.

ingin ku dekap dan menangis di pangkuan mu, sampai ku terlelap bagai masa kecil dulu. Lalu doa doa baluri sekujur tubuhku, dengan apa membalas. Ibu”  Sekilas namun mampu menghadirkan bayangan ibu dengan segala kelembutannya. Senyum ramahnya selalu mengembang diantara keriput kulit wajahnya. Kehangatan usapan tangan di atas kepala setiap kali anak anaknya di saat datang dengan segudang gundah gulana, seperti oase di tengah gurun.

Terima kasih ibu, entah harus dengan apa aku membalas jasamu, maka tidaklah berlebihan jika said effendi seorang pujangga, mengatakan dalam syair lagunya “duhai apakah gerangan budi balasan, bagi insan melahirkan membesarkan, tiada bahagia jika tiada doa restu, surga itu di telapak kaki ibu”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun