Di tengah hiruk-pikuk kehidupan perkotaan Tangerang Selatan, terdapat fenomena yang kian marak, yaitu keberadaan manusia silver. Sebutan ini merujuk pada individu yang menggunakan cat perak di tubuh mereka untuk mengamen di jalanan demi mendapatkan penghasilan. Di Kecamatan Ciputat Timur, manusia silver bukan sekadar pemandangan biasa, melainkan representasi nyata dari kelompok masyarakat marginal yang menghadapi keterbatasan ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Menurut data Badan Pengawas Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Kota Tangerang Selatan per Maret 2024 mencapai 2,57%. Meskipun relatif kecil dibandingkan daerah lain, angka ini mencerminkan adanya kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan. Di antaranya adalah manusia silver, yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan dan menghadapi siklus keterbatasan akses pendidikan.
Di Indonesia secara keseluruhan, garis kemiskinan tercatat sebesar Rp582.932 per kapita per bulan, dengan rata-rata rumah tangga miskin memiliki pengeluaran sebesar Rp2.786.415 per bulan. Dalam kondisi ini, pendidikan sering kali menjadi prioritas kedua setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Sebagai akibatnya, banyak anak-anak manusia silver yang tidak melanjutkan pendidikan formal, meskipun masih berada pada usia sekolah.
Rendahnya kesadaran pendidikan di kalangan manusia silver bukan hanya persoalan individu, melainkan juga cerminan dari kurangnya perhatian terhadap kelompok marginal dalam sistem pendidikan Indonesia. Pendidikan, yang idealnya menjadi alat untuk keluar dari kemiskinan, justru dianggap tidak relevan oleh banyak manusia silver karena kebutuhan ekonomi yang mendesak.
Mengapa Kesadaran Pendidikan Rendah?
Berbagai faktor menjadi penyebab rendahnya kesadaran pendidikan di kalangan manusia silver. Pertama, keterbatasan ekonomi memaksa mereka memprioritaskan penghasilan harian dibandingkan pendidikan formal. Dalam situasi ini, bekerja menjadi pilihan yang lebih rasional dibandingkan duduk di bangku sekolah.
Kedua, persepsi terhadap pendidikan juga memainkan peran penting. Banyak manusia silver yang merasa pendidikan formal tidak memberikan manfaat langsung bagi kehidupan mereka. Ketidakmampuan melihat relevansi pendidikan dengan kebutuhan sehari-hari memperkuat siklus kemiskinan dan ketergantungan pada pekerjaan informal.
Ketiga, stigma sosial turut memperburuk keadaan. Manusia silver sering kali dipandang negatif oleh masyarakat, yang membuat mereka semakin terpinggirkan. Kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk pemerintah dan lembaga sosial, juga menjadi hambatan besar dalam meningkatkan akses pendidikan bagi kelompok ini.
Harapan dari Pendidikan Alternatif
Meski tantangan begitu besar, ada peluang untuk memutus siklus kemiskinan dan meningkatkan kesadaran pendidikan di kalangan manusia silver. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan pendidikan alternatif yang lebih inklusif dan relevan bagi kebutuhan mereka.
Pendidikan non-formal, seperti pelatihan vokasional, sekolah jalanan, atau kursus keterampilan, dapat menjadi solusi yang efektif. Program-program ini tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga keterampilan praktis yang dapat langsung diaplikasikan untuk meningkatkan penghasilan mereka. Misalnya, pelatihan keterampilan seperti menjahit, memperbaiki barang elektronik, atau keterampilan lain yang sesuai dengan kebutuhan pasar dapat menjadi pintu masuk menuju kehidupan yang lebih baik.