musik yang memadukan berbagai warna suara dalam satu spektrum harmoni, telah berpulang kemarin pada usia 91 tahun. Sosok yang pernah bercita-cita menjadi "gangster" di kawasan South Side Chicago ini justru tumbuh menjadi seorang legenda yang tak hanya menghidupkan musik tetapi juga menembus batasan antar-genre dan budaya. Dari kegelapan masa kecil yang kelam, ketika tangannya pernah terluka karena "ditempelkan" ke pagar oleh pisau geng saingannya, Quincy menemukan pencerahan dalam denting piano yang ia mainkan dengan jari-jari kecilnya---sebuah penemuan yang akan menjadi takdir hidupnya.
Quincy Jones, maestroDalam perjalanan kariernya yang menembus tujuh dekade, Quincy Jones menghasilkan karya-karya yang menjadi tonggak dalam sejarah musik modern. Tak diragukan lagi, album Thriller dari Michael Jackson adalah salah satu pencapaian terbesarnya. Di sinilah ia membentuk pop menjadi sesuatu  yang baru, sebuah jalinan disko, funk, dan rock yang nyaris mendekati perfeksionisme. Dari ketukan "Billie Jean" hingga raungan solo gitar Eddie Van Halen dalam "Beat It," Quincy bersama Michael Jackson menciptakan harmoni yang begitu universal, yang bisa mengguncang lantai dansa sekaligus menembus batasan rasial di dunia musik Amerika yang segregatif pada masa itu.  "Kalau sebuah album sukses, seharusnya itu 'kesalahan' produsernya juga," ujarnya tentang betapa pentingnya peran seorang produser dalam menghidupkan visi sebuah karya.
Namun, warisan Quincy Jones tidak berhenti pada karya-karya yang menghantarkannya ke puncak industri. Di tahun 1985, ia melakukan sesuatu yang lebih besar dari sekadar lagu atau album; ia menciptakan gerakan. Ketika krisis kelaparan melanda Ethiopia, Quincy berinisiatif untuk merekam lagu "We Are the World" Bersama Lionel Richie dan Michael Jackson, dibawah bendera USA For Africa, ia mengumpulkan 46 musisi terkenal di Amerika---dari Stevie Wonder, Bruce Springsten, Cindy Lauper, Bob Dylan hingga Bob Dylan---untuk satu proyek kolosal yang melebihi sekadar aksi amal. "We Are the World" bukan hanya sebuah lagu; ia adalah sebuah suara bagi mereka yang tak bersuara, sebuah doa yang diiringi melodi, sebuah solidaritas tanpa batas. Di pintu masuk studio, Quincy menempelkan tulisan, "Leave your ego at the door" sebuah pernyataan yang tak hanya dimaksudkan untuk menjaga harmoni musik, tetapi juga untuk menciptakan harmoni di antara jiwa-jiwa besar dalam ruangan itu.
Lagu ini, yang ditulis oleh Michael Jackson dan Lionel Richie, menjadi simbol dari sebuah gerakan, memecahkan rekor sebagai salah satu single amal terbesar sepanjang masa, dengan hasil penjualan yang digunakan untuk membantu korban kelaparan di Afrika. "We Are the World" bukan hanya tentang harmoni suara, tetapi juga harmoni kemanusiaan, dan Quincy berada di pusatnya---menyulut bara solidaritas lewat nada dan kata, menghadirkan pengingat bahwa musik bisa menjadi bahasa yang lebih dalam dari sekadar hiburan.
Kerja sama Quincy dan Michael Jackson pun menjadi legenda tersendiri. Sejak mereka pertama kali bertemu di lokasi syuting "The Wiz", sebuah adaptasi musikal dari "The Wizard of Oz", Quincy melihat potensi bintang di mata remaja 19 tahun itu. Dia adalah produser yang menggabungkan kepekaan jazznya, disiplin klasikal, dan intuisi pop yang tajam untuk mengubah Jackson dari seorang bintang cilik menjadi "King of Pop." Album Off the Wall menandai awal dari perjalanan mereka, diikuti oleh Thriller, yang tidak hanya merajai tangga lagu tetapi juga mengubah industri musik secara fundamental. Dan Bad, album ketiga yang mereka buat bersama, melengkapi trilogi yang menjadi lambang dari kemitraan musikal yang tak terlupakan.
Dalam kolaborasi ini, Quincy lebih dari sekadar produser; ia adalah mentor, sahabat, dan kadang-kadang ayah bagi Michael. Ia memahami energi yang ada dalam diri Michael---energi yang bisa membawa musik pop ke tingkat yang lebih tinggi, tetapi juga rentan menghadapi gemerlap dunia hiburan. Quincy tahu bagaimana cara memelihara api itu, menuntunnya agar tetap menyala, bahkan ketika industri dan publik menuntut lebih banyak.
Kini, ketika dunia musik kehilangan seorang Quincy Jones, kita mengenang kembali bukan hanya karya-karya yang ia hasilkan, tetapi juga warisan kemanusiaan yang ia tinggalkan. Dari "Billie Jean" hingga "We Are the World," dari denting piano pertamanya hingga detik terakhir dalam hidupnya, Quincy mengingatkan kita bahwa musik bisa lebih dari sekadar nada; ia bisa menjadi bahasa jiwa, percikan rasa, dan kadang---doa bagi dunia. Warisannya akan terus mengalun, melintasi generasi, mengingatkan kita pada harmoni yang pernah ia ciptakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H