Mohon tunggu...
denny septiviant
denny septiviant Mohon Tunggu... Politisi - Politisi PKB

Human right defender | progresive rock | Nahdliyin | photography enthusiast | Aikido practical

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Supriyani dan Kegelisahan Seorang Guru di Persimpangan Hukum

25 Oktober 2024   08:00 Diperbarui: 26 Oktober 2024   05:56 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, tak semua hakim memandang hal ini dengan cara yang sama. Ada kasus di mana tindakan serupa dianggap sebagai kekerasan, bergantung pada konteks dan perspektif yang diambil oleh aparat hukum. Di sinilah letak kegamangan dalam sistem peradilan kita. Batas antara mendisiplinkan dan menganiaya menjadi tipis, dan kerap kali, interpretasi menjadi ranah yang penuh subjektivitas.

Mendidik di Tengah Ketidakpastian

Kisah Supriyani adalah cerminan dari dilema yang lebih besar: bagaimana seorang guru bisa tetap mendidik tanpa dihantui ketakutan akan jeratan hukum? Peraturan yang terlalu mengedepankan perlindungan anak, tanpa diimbangi dengan perlindungan bagi profesi guru, bisa menghilangkan esensi mendidik itu sendiri.

Di tengah situasi ini, para guru merasa seolah berjalan di atas jalan yang licin. Mereka harus menegakkan disiplin, tetapi setiap tindakan bisa saja dilihat sebagai kekerasan.

Di sinilah Supriyani menjadi simbol. Bukan karena ia adalah korban, tetapi karena ia adalah bagian dari sebuah sistem yang sedang berusaha menemukan keseimbangannya. Kebijakan hukum yang terlalu kaku, tanpa memperhatikan konteks sosial dan psikologis dalam pendidikan, dapat membuat guru-guru kehilangan daya untuk membentuk karakter siswa.

Epilog: Esensi Mendidik yang Mulai Terkikis

Pada akhirnya, pertanyaan besar yang muncul dari kasus ini adalah: di mana batas antara mendidik dan menganiaya? Di mana hak guru untuk mengarahkan, menuntun, dan mendisiplinkan tanpa rasa takut akan dihukum? Pertanyaan ini mungkin tidak akan mudah terjawab dalam waktu singkat. Namun, kisah Supriyani memberikan kita pelajaran penting bahwa pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi tentang membentuk akhlak dan moral manusia.

Dalam setiap tindakan mendisiplinkan, ada niat baik yang mungkin tersembunyi. Namun, ketika niat baik itu terkekang oleh ketatnya peraturan, pendidikan perlahan kehilangan jiwanya. Mungkin yang kita butuhkan adalah pemahaman yang lebih dalam bahwa keseimbangan antara hak anak dan kewenangan guru bukanlah soal menegakkan aturan, melainkan soal menjaga esensi dari apa artinya mendidik.

Kebijakan yang hanya mengedepankan perlindungan anak tanpa melihat peran guru yang lebih luas sebagai pendidik, akhirnya bisa melahirkan generasi yang kehilangan makna kedisiplinan. Kasus Supriyani adalah cermin dari persoalan yang lebih besar ini, dan ia mengajak kita untuk merenung: apakah kita telah kehilangan esensi mendidik dalam pusaran regulasi yang semakin ketat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun