Setiap anak rantau selalu punya keinginan menghabiskan Ramadhan di kampung halaman tercinta. Tahun ini, setidaknya sudah 15 tahun aku tak pernah lagi merasakan Ramadhan di kampung halaman. Sudah lebih dari 10 tahun pula tak pernah lagi merasakan Shalat Ied bersama-sama di lapangan sepakbola secara bersama-sama. Setiap Ramadhan tiba, selalu ingatan akan masa-masa ramadhan di kampung dulu kembali terbayang. Entah apakah suasananya masih sama atau sudah berubah?
Kampungku ada di Silaping, Kecamatan Ranah Batahan, Kabupaten PasamanBarat, Sumatera Barat. Bagi kami, anak-anak an remaja di kampung, bulan puasa adalah waktunya sebulan tidur di masjid. Satu bulan penuh menghabiskan waktu di masjid.
Sore hari jelang maghrib, kami, anak-anak sudah ramai berkumpul di sekitar masjid. Menunggu penjaga masjid memukul bedug. Suaranya bertalu-talu. Diiringi suaranya yang khas, kami segera berlarian ke rumah masing-masing, sambil berteriak, “Berbuka…berbuka…”. Seiring perkembangan zaman, suara bedug digantikan sirine. Kami terheran-heran mendengar suaranya yang mengiang-ngiang di telinga. Sama seperti dulu, kami selalu menunggu sirine itu dibunyikan.
Di rumah sudah menunggu penganan khas bulan puasa. Ada buah rutab alias kolang-kaling, yang hanya ada di bulan puasa. Ada juga Sonop alias kolak pisang.
Usai makan berbuka puasa, kami para anak-anak kembali ke masjid. Kali ini untuk melaksanakan Shalat Tarwih. Seluruh warga di kampung kami mayoritas ikut tarwih. Ada rasa malu kalau tak ikut bersama-sama ke masjid. Bahkan, ada semacam kesepakatan tak tertulis, kalau seluruh warung tidak akan menyalakan tv, sampai shalat tarwih selesai.
Kami, anak-anak yang siswa SD hingga SMA, selalu punya buku kegiatan ramadhan. Itu salah satu yang membuat kami selalu harus hadir di masjid. Buku itu harus distempel pengurus masjid. Kadang-kadang, kalau lagi malas, kami ikut awal dan akhir saja.
Usai tarwih, kami akan kembali ke rumah sebentar. Lalu kembali ke masjid. Kali ini untuk tadarusan. Sejak tawrwih usai hingga tengah malam, tadarus dilakukan kaum ibu-ibu. Di waktu itu, kami memanfaatkannya untuk bermain-main. Kadang-kadang jalan-jalan ke kampung sebelah. Yang punya pacar di kampung sebelah, berharap bertemu pacarnya di jalan. Maklum, waktu itu belum ada SMS sih. Lebih seru lagi kalau pas musim durian. Kami bisa sekalian mencari durian.
Tadarusan tak semuanya diikuti anak-anak atau remaja yang menginap di masjid. Maklum, tidak ada panitia atau pengurusnya. Jadi tergantung siapa yang sedang mau ikut saja. Sebagian lagi asyik bersenda gurau. Yang tertidur, akan jadi sasaran iseng teman-teman. Waktu belum ada listrik dulu, asap lampu teplok selalu jadi bahan iseng. Pas bangun, wajah teman yang tidur sudah coreng moreng. Ada juga yang iseng dengan mengikat kain sarung teman-teman yang tidur. Dan saat bangun, keduanya akan saling tarik menarikl sarung. Ada lagi tingkah yang lucu, yakni mengambil batang korek api, dan menempatkannya di antara jari jempol kaki dan jari yang lain. Yang dikerjain akan menggerak-gerakkan kakinya, dna disambut dengan cekikikan kawan-kawan lain.
Beranjak remaja, kegiatan bertambah pula. Biasanya tak jauh-jauh dari perempuan. Ada saja yang melemparkan ide untuk pergi “mangusip”. Istilah untuk mengintip perempuan tidur. Waktu itu sebagian besar rumah masih berdinding papan. Jadi, bisa leluasa mengintip dari balik dinding. Kadang-kadang heran juga melihat teman-teman yang sudah kecanduan. Bisa betah di dalam gelap dikelilingi nyamuk, hanya untuk melihat perempuan memasak sahur. Hehehe.
Pukul 02.00 dinihari, waktunya penjaga masjid membunyikan sirine tanda memasak. Kami akan kembali ke rumah masing-masing, sambil membangunkan ibu atau nenek jika mereka belum bangun. Di rumah, kami tidur lagi dan bangun saat makan sahur tiba. Usai makan sahur, kami kembali ke masjid untuk shalat subuh.
Disini, anak-anak perempuan ada yang datang juga. Usai subuh, ada kesempatan ngobrol dengan mereka sambil mengantarnya pulang. Siangnya kami semua sekolah.
Begitulah setiap hari, hingga waktu berlalu dan giliran anak-anak yang baru yang menginap di masjid. Sekarang entah masih ada tradisi menginap di masjid itu entah tidak. Yang pasti, sekarang masjid kami sudah megah. Lantainya keramik, penuh dengan karpet empuk. Beda dengan zaman kami yang hanya tikar pandan. Sekarang juga sudah ada AC dan serba modern.
Lebih 10 tahun tak ramadhan di kampung, membuatku si Anak Rantau ini, ingin bernostalgia, merasakan kembali masa-masa dulu itu. Andai saja saat itu adalah sekarang, tentu aku bisa meng-update semua kegiatan ramadhan kami itu lewat “Telkomsel Ramadhanku”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H