Dalam papernya yang berjudul Mining and Economic Sustainability : National Economies and Local Communities Roderick G Eggert Seorang praktisi ekonomi mineral dari Colorado School of Mines mempertanyakan “Is Mining A curse?” Apakah Industri Tambang adalah kutukan?
Secara logika sederhana, industri tambang dan migas seharusnya adalah sebuah berkah bagi negara yang memilikinya, karena faktanya tidak semua negara di karuniai kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia salah satunya yang diberi kekayaan itu. Meskipun dari segi jumlah cadangan migas, Indonesia hanya memiliki cadangan sebesar 3,7 Miliar Barrel, jauh di bawah Venezuela dengan hampir 300 Miliar barrel. Namun, nyatanya kondisi aktual hari ini justru berkata lain, banyak negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam justru masuk dalam kategori negara miskin atau dapat dikatakan negara ini belum dapat mengkapitalisasikan kekayaan sumberdaya alamnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya contohnya : Indonesia, Afrika Selatan, Timor Leste dll.
[caption id="attachment_409269" align="aligncenter" width="300" caption="Data Cadangan Migas Negara-negara dunia"][/caption]
Dalam paper nya, Eggert memaparkan setidaknya terdapat 3 hal yang menjadi penyebab mengapa kekayaan Sumber Daya Alam belum atau justru menjadi masalah bagi negara tersebut.
Yang pertama adalah pengaruh pasar eksternal. Hal ini berhubungan dengan harga komoditas di pasaran global, fluktuasi harga menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam mengelola Sumber Daya alamnya.
Faktor kedua adalah apa yang disebut Eggert sebagai Dutch Disease, Dutch Disease diartikan sebagai penyakit kebergantungan yang terlalu berlebihan terhadap Sumber Daya Alam, seluruh kegiatan ekonominya berpusat pada industri ekstraktif, sehingga ekonomi negara/daerah tersebut sangat bergantung pada Sumber Daya alam. Tentu ini sangat riskan, karena harga komoditas tambang di pasaran global sangat fluktuatif. Sekali harga komoditas tambang lesuh, maka bisa dipastikan harcurlah ekonomi negara tersebut.
Faktor ketiga adalah faktor kebijakan, tidak dapat dipungkiri, bahwa Sumber Daya Alam dibanyak negara menjadi tulang punggung penggerak ekonomi, baik karena linkage effect atau dari segi penyumbang pendapatan negara. Maka bagaimana pemerintah mengatur kebijakannya akan sangat menentukan dampak industri dibidang ini.
Melihat ketiga faktor itu dan merefleksikannya terhadap kondisi riil Indonesia kita, fakta tidak bisa kita hindari ketiga faktor –salah satunya- menjadi faktor penyebab belum maksimalnya potensi Sumber Daya Alam khususnya migas Indonesia. Dalam nangkring kompasiana bersama SKK Migas beberapa waktu lalu, seorang penanya mengajukan pertanyaan yang menarik.
“pak, saya dari Aceh, itu kenapa banyak ladang migas di Aceh, tetapi terlihat sama sekali tidak berpengaruh terhadap pembangunan di Aceh?”
Apa yang disampaikan oleh bapak ini berhubungan dengan apa yang disampaikan oleh Eggert terutama poin ketiga, yaitu kebijakan.
Manajemen rantai suplai
Supply chain management (manajemen rantai pasokan) adalah integrasi aktivitas pengadaan bahan dan pelayanan, pengubahan menjadi barang setengah jadi dan produk akhir, serta pengiriman ke pelanggan (Heizer dan Render, 2008). Definisi lain menyatakan manajemen rantai pasokan sebagai sebuah pendekatan yang diterapkan untuk menyatukan pemasok, pengusaha, gudang, dan tempat penyimpanan lainnya (distributor, retailer, dan pengecer) secara efisien, sehingga produk dapat dihasilkan dan distribusikan dengan jumlah yang tepat, lokasi yang tepat, dan waktu yang tepat untuk menurunkan biaya dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Secara sederhana manajemen rantai pasok adalah sebuah sistem mengefektifkan jalur barang dan jasa sehingga dapat meminimalisir biaya yang dibutuhkan.
Sebagai salah satu industri terbesar di tanah air, investasi di dunia migas sangatlah besar, dari grafik dibawah ini dapat dilihat betapa besarnya investasi di bidang migas, baik tahap eksplorasi maupun ekploitasi.
[caption id="attachment_409267" align="aligncenter" width="560" caption="Biaya Investasi Hulu Migas (Sumber : SKK Migas)"]
Sayangnya selama ini, minimnya perbaikan maupun integrasi dalam sistem rantai pasok, menyebabkan investasi ini kurang dapat menciptakan mutiflyer effect, padahal dua per tiga biaya kegiatan usaha hulu migas dibelanjakan melalui fungsi SCM (supply chain management.
[caption id="attachment_409270" align="aligncenter" width="300" caption="Data rencana pengadaan barang dan jasa tahun 2015 di Industri Migas (sumber: skk migas)"]
Sejak beberapa tahun terakhir SKK igas selaku perwakilan pemerintah terus melakukan perbaikan dalam sistem rantai pasok ini, dengan tujuan. Pertama terjadi efisiensi dalam hal pengadaan barang dan jasa didalam industri migas. Kedua, peningkatan keterlibatan industri nasional dalam pengadaan barang dan jasa untuk industri hulu migas.
[caption id="attachment_409268" align="aligncenter" width="560" caption="keterlibatan BUMN pada proyek Hulu Migas (sumber; skk migas)"]
Pada tahun 2013, komitmen Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) di industri hulu migas telah mencapai 56 persen. Sedangkan komitmen transaksi pembayaran melalui bank yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai US$8,2 miliar. Pengelolaan rantai suplai pun berhasil melakukan penghematan sebesar US$109 juta. Tentu hal ini merupakan hal yang positif, tetapi melihat dari grafik diatas, masih cukup banyak peluang untuk lebih melibatkan lagi para pelaku industri dalam negeri untuk terlibat dalam siklus industri hulu migas, sehingga dalam jangka panjang, dampak multiflyer effect hulu migas benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H