Mohon tunggu...
denny prabawa
denny prabawa Mohon Tunggu... Editor di Balai Pustaka -

penulis, penyunting, penata letak, perancang sampul, pedagang, pensiunan pendaki, dan masih banyak lagi sederet identitas yang bisa dilekatkan kepadanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dusta di Balik Kata

1 Oktober 2015   11:50 Diperbarui: 1 Oktober 2015   11:50 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="hidung panjang pinokio menjadi penanda dari kebohongannya (sumber: http://www.weareaspire.com)"][/caption]Dalam bukunya Semiotika dan Hipersemiotika: Gaya, Kode, dan Matinya Makna (Matahari, 2012), Yasraf Amir Piliang menyitir perkataan Umberto Eco, “Semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta.” Untuk menjelaskan perkataan Eco tersebut, ia juga mengutip tulisan Arthur Asa Berger yang mengatakan, “…bila tanda dapat digunakan untuk menampilkan kebenaran, maka tanda juga dapat digunakan untuk berdusta atau menipu.” Dengan kata lain, selain dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, disiplin ilmu semiotika dapat pula digunakan untuk mengungkap kedustaan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata “dusta” sebagai tidak benar atau bohong. Kata “bohong” sendiri bermakna tidak sesuai dengan hal yang sebenarnya. Seseorang mengatakan A sementara realitas sesungguh adalah B. Sebaliknya, seseorang dikatakan tengah mengungkapkan kebenaran ketika ia mengatakan A untuk realitas A.

Dalam bukunya sebagaimana yang saya sebutkan di awal, Yasraf menuliskan enam tipologi tanda, yakni tanda sebenarnya (proper sign), palsu (pseudo sign), tanda dusta (false sign), tanda daur ulang (recycle sign), tanda artificial (artificial sign), tanda ekstrim (superlative sign).

Tanda dusta adalah tanda yang memiliki hubungan asimetris dengan realitas. Tanda A digunakan untuk menggambarkan realitas B. Kebudayaan banyak menampilkan tanda ini, seperti pemakaian baju wanita oleh seorang lelaki, penggunaan wig, penyamaran warna (kamuflase), penggunaan jargon atau pakaian untuk memberi kesan intelek, dan sebagainya.

Denny JA membuat tulisan berjudul “Katakanlah Dengan Kultweet Soal Petisi 33 Buku Sosok Sastra Paling Berpengaruh” (inspirasi.co, 17 Januari 2014). Dalam tulisannya itu, ia mengatakan, “Saya tak hendak menjadi tokoh sastra tapi hanya ingin berjuang melawan diskriminasi melalui sastra. Juga belum merasa pantas dimasukkan dalam list 33 sosok sastra paling berpengaruh.” Ada dua hal yang bisa kita tangkap dari perkataan Denny JA. Pertama, dia tidak hendak menjadi tokoh sastra. Kedua, dia belum merasa pantas dimasukan dalam daftar sastrawan paling berpengaruh.

 Partikel “tak” yang mendahului kata “hendak” berfungsi untuk menyatakan pengingkaran, penolakan, penyangkalan. Kata “hendak” bersinonim dengan kata “mau”. Melalui perkataannya itu, Denny JA mengingkari, menolak, dan menyangkal dirinya mau menjadi tokoh sastra. Apa alasan penolakkannya? Kalimat selanjutnya menjawab pertanyaan itu; dia belum merasa pantas.

Jika Denny JA memang belum pantas dimasukan dalam buku tersebut sebagaimana pengakuannya, mengapa Tim 8 memasukkan namanya? Disadarinya atau tidak, perkataan Denny JA seperti meragukan kompetensi Tim 8 yang telah memilihnya. Bagaimana mungkin Tim 8 bisa dikatakan kompeten jika mereka memilih orang yang belum pantas dimasukan dalam buku tersebut? Berarti hanya Maman S. Mahaya yang kompeten dalam Tim 8 karena ia satu-satunya orang yang tidak setuju nama Denny JA masuk dalam 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh!

Perkataan Denny JA tersebut dapat dikatakan sebagai tanda, baik tanda sebenarnya maupun tanda dusta. Jika perkataan tersebut memiliki hubungan simetris dengan realitas, perkataan itu adalah tanda sebenarnya. Namun, jika perkataan itu asimetris dengan realitas, perkataan itu adalah tanda dusta. Untuk memilih di antara dua kemungkinan tersebut, kita harus menghubungkannya dengan realitas yang dibangunnya.

Siapa pun yang pernah melihat buku Atas Nama Cinta (Sebuah Puisi Esai), pasti takkan luput membaca tulisan “Genre Baru Sastra Indonesia” di kaver buku itu. Sebuah klaim yang segera menyejajarkan dirinya dengan Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoem Bachri, atau Afrizal Malna.

Denny JA mengatakan dalam pengantar bukunya itu, “Sebuah genre pada dasarnya adalah konstruksi sosial. Ia tidak lahir hanya karena titah seorang otoritas sastra, tapi terutama karena diterima oleh publik.” Apa ukuran diterima oleh publik? Ia mengatakan, “…banyaknya pengikut atau pengarang yang mengulangi medium atau ekspresi baru itu.” Namun, sebelum terbukti banyak pengarang yang mengikutinya, bukankah ia sudah lebih dulu mengklaim bukunya sebagai “Genre Baru Sastra Indonesia” sebagaimana tertulis pada sampul bukunya?

Terbitnya Atas Nama Cinta segera diikuti oleh lomba menulis puisi esai yang diselenggarakan olehnya. Melalui lomba itu, Denny JA berhasil merekayasa konstruksi sosial. Dunia sastra Indonesia yang segera hamil tua selepas penerbitan bukunya melahirkan sebuah genre baru: generasi penulis puisi esai. Denny JA-lah pelopornya! Berdasarkan alasan tersebut, Denny JA dimasukan dalam 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh yang disusun oleh Jamal D. Rahman, dkk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun