Mohon tunggu...
denny prabawa
denny prabawa Mohon Tunggu... Editor di Balai Pustaka -

penulis, penyunting, penata letak, perancang sampul, pedagang, pensiunan pendaki, dan masih banyak lagi sederet identitas yang bisa dilekatkan kepadanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Trisno Sumardjo: Pejuang Kesenian yang Getir dan Sepi

3 Oktober 2015   11:29 Diperbarui: 3 Oktober 2015   11:29 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="“Potret Trisno Sumardjo” oleh Dede Eri Supria, koleksi DKJ (https://twitter.com/kelanaliar)"][/caption]Sebuah buku usang di atas meja kantorku, Kata Hati dan Perbuatan (Balai Pustaka, 1952). Aku hampir tak pernah membacanya, kecuali sekadar membolak-balik halaman demi halamannya yang kertasnya tak lagi putih. Sampai aku membaca artikel “Surrealisme” yang ditulis oleh H.B. Jassin (1953: 22). Ia menyebut salah satu dramamu dalam buku usang di atas meja kantorku. “Tumbang” judul karanganmu itu, yang oleh Jassin disebut drama bergenre surealisme. Aku membuka-buka buku usang itu, mencari drama yang dimaksud. Lalu membacanya. Ah, aku seperti merasakan kegelisahanmu. Kegelisahan seorang pengarang bernama Trisno Sumardjono yang dilahirkan di Tarik, Surabaya, 6 Desember 1916. Ayahmu bernama Mohammad As’ari, seorang guru bantu. Ia menyekolahkanmu di MULO hingga tamat pada tahun 1933-an. Kemudian kau melanjutkan ke AMS II (Barat Klasik) di Yogyakarta.

Setamat dari AMS. Kauikuti jejak ayahmu menjadi guru partikelir di kota Jember, Jawa Timur (1938—1942). Ketika Tentara Jepang menduduki Pulau Jawa, kau hijrah ke Madiun untuk bekerja sebagai pegawai Jawatan Kereta Api (1942—1946). Di kota penghasil brem inilah kau mulai tertarik dengan dunia sastra, seperti yang tertuang dalam drmamu, “Dokter Kambudja”. Namun, di awal kemerdekaan (1947), kautinggalkan pekerjaan yang membuatmu merasa terbebani, selain karena bukan bidang yang kaugemari, juga karena sikap tentara Jepang yang kejam. Lalu kautinggalkan Madiun, kautinggalkan seorang gadis yang kelak akan menjadi pendamping hidupmu. Kota Solo menjadi persinggahanmu yang berikutnya. Di kota pusat kebudayaan inilah kau bertemu dengan teman-teman seniman, lalu mendirikan majalah Seniman. Selama kurang rentang tahun 1947—1948 kau menjadi redaktur di majalah tersebut. Namun, Solo tak mampu menampung luapan kreativitas kesenianmu. Awal tahun 1950 kauputuskan untuk hijrah ke Jakarta, ibukota negara yang mulai berbenah diri sehabis revolusi fisik. Di Jakarta kau memperoleh pekerjaan sebagai sekretaris redaksi di majalah kebudayaan Indonesia pada tahun 1950. Pada tahun yang sama di bulan Juli, kau dipercaya sebagai Sekretaris Lembaga Kebudayaan. Setahun kemudian kau menikahi gadis pujaanmu di kota Madiun, Sukartinah.

Kalau ada keberuntungan di dalam hidupmu, mungkin karena gadis kelahiran Surabaya 23 Juni 1924 bernama Sukartinah, yang kaunikahi pada 18 Maret 1951. Pendamping hidup yang memberimu dua orang putra bernama Lestari (1955) dan Budi Santoso (1956).

Prinsip kesenian bukanlah alat mengejar materi ternampak dari kehidupan rumah tanggamu yang sederhana. Beruntunglah dirimu memiliki pendamping hidup yang begitu memahami dan menerima pribadimu yang keras memegang prinsip-prinsip hidup. Begitu kerasnya hingga sering menimbulkan kesan kaku di antara teman-temanmu.

Selepas dari pekerjaanmu di majalah Indonesia tahun 1952, kau mendapat beasiswa visitorship rockefeller. Selama enam bulan kau mengunjungi Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Pernah pula kau bekerja sebagai redaktur majalah Seni di tahun 1954. Di tahun itu pulalah istrimu mengandung, kemudian melahirkan seorang putri yang kaunamai Lestari pada 15 April 1955. Ketegangan yang kau rasakan selama proses kelahiran putrimu sungguh memukaumu, sebuah cerpen pun lahir dari tanganmu yang terhimpun dalam bukuRumah Raya (1957). Setahun kemudian, di tanggal 15 Juni 1956, putra keduamu yang kauberinama Budi Santoso, hadir kedunia. Dan dari kelahirannya, lahir pula cerpenmu yang kaujuduli, “Asran”. Di tahun kelahiran putramu itu, kau dipercaya sebagai Sekretaris Umumu Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BKMN).

Kurang lebih setahun setelah putra keduamu lahir, 1957, kaukunjungi Negeri Tiongkok sebagai ketua delegasi sastrawan Indonesia dalam studi sastra banding. Tahun 1961 State Departement USA mengundangmu ke Amerika. Di tahun yang sama, sebagai seorang pelukis, kau menggelar pameran tunggal.

September 1963, tepatnya di tanggal 17 Agustus, bersama teman-teman seniman yang sepemikiran denganmu, kau turut mencetuskan Manifestasi Kebudayaan. Gerakan kebudayaan yang membuatmu harus berkonfrontasi dengan orang-orang Lekra. Pada tanggal 18 Mei 1964, Presiden Soekarno yang secara ideologis dekat dengan Lekra menyatakan gerakan Manifestasi Kebudayaan sebagai gerakan yang terlarang. Kalian bahkan tak dibolehkan menulis di media baik yang beredar di ibukota maupun di daerah. Sampai Orde Lama tumbang dan digantikan oleh Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto, pelarangan itu pun dicabut. Dan situasi berbalik bagi anggota-anggota Lekra.

Meski dilarang menulis di surat kabar, pada tahun 1964, kau menjadi pimpinan umum Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia di jakarta. Puncak perjuanganmu di bidang keseniaan adalah berdirinya Taman Ismail Marzuki. Kau tercatat sebagai perintis utama.

Saat kau bekerja sebagai redaktur di majalah Gaya (1968), tepatnya di tanggal 19 Juni, atas jasamu merintis Taman Ismail Marzuki (TIM), Gubenur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, Ali Sadikin, mempercayaimu sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, sekaligus terpilih sebagai Ketua Badan Pengurus Harian, hingga ajal menjemputmu di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, 21April 1969, karena serangan jantung. Kau tak mewariskan selain rumah dinas di kompleks TIM kepada istri dan kedua anakmu.

Taufiq Ismail dalam “Catatan Kebudayaan” di majalah HorisonNomor 6 tahun ke-IV, Juni 1969 menulis: Kesenimanan Trisno Sumardjo di dalam bidang penulisan karya sastra, pelukis, atau seni rupa, penerjemahan, pemikir kebudayaan, dan pejuang kesenian Indonesia yang gigih bertahan dan keras hati, serta seorang pejuang yang getir dan sepi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun