Ada Wiji Thukul di TVRI. Kisah buronnya Thukul semasa Orde Baru berkuasa yang diangkat dalam film “Istirahatlah Kata-Kata", ditayangkan kembali TVRI pada Selasa (16/6/2020), mulai pukul 21.30 WIB. Film biopik ini tayang pertama kali pada Januari 2017.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memilih menayangkan kembali "Istirahatlah Kata-Kata" (IKK) sebagai lanjutan Program Belajar dari Rumah (BdR) yang telah memasuki masa liburan akhir tahun ajaran. Mengangkat kembali film karya sutradara Yosep Anggi Noen ini tentu didasari pertimbangan nilai-nilai yang mengandung pendidikan di dalamnya.
Kita tahu, Wiji Thukul adalah salah satu pelaku sejarah gerakan perubahan di negeri ini. Membincangkan Wiji Thukul adalah membincangkan Indonesia. Kisah Thukul menjadi bingkai sejarah Indonesia dari sisinya yang lain, yang pernah muram dan brutal. Berpaling dari bingkai sejarah itu, tentu menjadikan catatan sejarah bangsa ini tidak utuh. Menghadirkan kembali kisah Wiji Thukul adalah upaya menolak lupa.
Upaya menolak lupa ini pula yang menggerakkan Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, menggagas perjamuan sastra "Membaca Wiji Thukul: Pembacaan Puisi-Puisi Karya Wiji Thukul" secara daring bersama beberapa pemain film IKK dan sahabat Thukul di dalam dan luar negeri. (bisa ditonton kembali di channel youtube Sastra Migran (https://www.youtube.com/watch?v=JQXL3GTqJxc). Kegiatan ini digelar di hari yang sama untuk mengiringi pemutaran film dan melengkapi Program Bdr Kemendikbud dengan #SastraDariRumah.
Adapun TVRI, memiliki sejarah yang berkelindan dengan Wiji Thukul. Menurut Wahyu Susilo, pada Agustus 1996, nama Wiji Thukul diumumkan TVRI sebagai buron karena dianggap biang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996.
"Dulu diumumkan sebagai buron, sekarang filmnya sebagai buron ditampilkan di TVRI. Ini tentu sebuah kemajuan. Kalau dulu dianggap buron, puisinya dianggap memprovokasi, sekarang menjadi bahan pembelajaran, bahan pendidikan," kata Wahyu mengantar pembacaan puisi-puisi Thukul.
Ini tentu menjadi catatan menarik. Bagi TVRI, seperti kata Wahyu Susilo, paling tidak akan mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga penyiaran publik tersebut. Bagi anak-anak didik, penayangan kembali film ini tentu memberi peluang untuk “mengenalkan” Wiji Thukul kepada generasi sekarang, selain sebagai sarana apresiasi sastra dan seni.
Saya yang pernah nonton film yang diperankan Gunawan Maryanto (Wiji Thukul) dan Marrisa Annita (Sipon) tiga tahun lalu itu, memilih untuk menyaksikannya kembali. Barangkali ada pembelajaran baru yang bisa saya dapatkan, paling tidak berupaya meresapi kembali spirit Thukul di masa ini.
Saya sendiri tidak terlalu mengenal penyair bernama asli Wiji Widodo ini. Menuliskan seseorang yang belum pernah saya kenal, tentu tidak selalu mudah.
Mengenal latar belakang kehidupan dan bila perlu pengenalan secara pribadi, mengetahui lika-liku kehidupan pribadi seseorang adalah conditio sine qua non bilamana seseorang berusaha memahami pribadi seorang lainnya.